Oleh: Arkilaus Baho
Upaya mendukung perdamaian di Tanah Papua ( West Papua ) sudah menggema di mana-mana. Dari dalam negeri Tanah Papua sendiri sudah dimulai dengan sejumlah slogan maupun tindakan pengorganisiran rakyat menuju terwujudnya damai di bumi Papua. Seruan pun tak hanya berhenti sampai Papua benar-benar damai. Ada banyak pemikiran yang mengemuka, dari organisasi rakyat hingga negara. Bahkan penguasa Indonesia turut marajut damai. Segala kepentingan di Papua masih gelisah, maka itu apapun bentuknya Papua harus damai.
Melanjutkan suara damai di Papua memang seru, maka itu satu ringkasan menarik yang dilansir situs seruu.com dengan mengemukakan sejumlah pemikiran dan pendapat yang intinya merajut damai di Tanah Papua. Ringkasan yang menarik untuk di tilik secara bersama. Beberapa tindakan kekerasan yang meningkat akhir-akhir ini di Papua menjadi tulisan awal situs tersebut sebelum menulis komentar tentang merajut damai.
Lanjut situs itu bahwa berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terdapat empat hal yang menjadi akar masalah terjadinya konflik di Papua. "Empat faktor yang menjadi pemicu konflik di Papua adalah masalah marginalitas dan diskriminasi, masalah kegagalan pembangunan, persoalan HAM, kegagalan politik di Papua yang kerap diideologikan dengan Papua merdeka," kata peneliti LIPI Andriana Elisabeth. Pendapat tersebut dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, yang mengatakan persoalan yang terjadi di Papua sangat rumit karena persoalan ini sudah terjadi sejak 1963.
Pernyataan diatas memang sungguh tak bisa di pungkiri bahwa konflik Papua yang hendak didamaikan itu tidak semudah menjadikan kamtibmas di Papua meningkat. Keamanan negara tak sebanding dengan perdamaian yang digagas hari ini. Kalau mau Papua aman untuk investor bebas mengeruk, itu bukan niat dari perjuangan Papua damai toh. Tapi sudah jelas, persoalan politik yang kian kronis di Tanah Papua, itulah penyebab Papua tak bisa didamaikan hanya sekedar untuk memenuhi keamanan kamtibmas negara. Tetapi, merajut kembali klausul politik orang Papua, dari segi sejarah maupun politik kebijakan ekonomi di Papua.
Realitas politik yang kronis ini bikin talingkar permasalahan Papua, terus bergolak sehingga rakyat Indonesia seluruhnya turut ikut menyuarakan damai Papua. Bahkan konflik Papua dianggap gejala keseluruhan permasalahan bangsa. kali ini, bertepatan dengan hari Valentine, seruan "Damai Indonesia" dikumandangkan dari Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Selasa (14/2/20120). Seruan muncul dalam seminar kebangsaan nasional berthema "Satu Bangsa, Satu Perdamaian, Satu Kesejahteraan". Acara ini diselenggarakan Gerakan Ekayastra Unmada - Semangat Satu Bangsa (dari wartawan, oleh wartawan, untuk Indonesia) yang bekerja sama dengan Pemda Kabupaten Sumenep. Seribu orang lebih menghadiri seminar yang berlangsung di Pendopo Keraton Sumenep.
Dari seruan damai Indonesia mengangkat lebih luas konflik yang merebak akhir ini. Konflik-konflik yang ada bersumber pada perebutan batas wilayah otonomi daerah, perebutan sumber-sumber ekonomi, ketidakadilan, Pilkada, sentimen suku pendatang dan suku asli, dll. Jika konlfik-konflik ini tidak segera diberiperhatian khusus dan diselesaikan, dikhawatirkan frekuensi dan tingkat konflik akan meningkat. Sejak diberlakukan, otonomi daerah meski dalam bungkus demokrasi secara tidak sadar dan mungkin tidak diakui adalah kembali bangsa Indonesia ke masa kerajaan-kerajaan ratusan tahun lalu mengingat pemekaran wilayah menggunakan wilayah kerajaan dulu. Sebagai akibatnya adalah munculnya sentimen agama, kesukuan, rasial dan perebutan ekonomi. Sebagai akibat lebih lanjut adalah munculnya berbagai konflik di berbagai wilayah Indonesia.
Seruan damai Indonesia memang patut di perhatikan. Konflik Papua bagian dari masalah bangsa yang terus di cari jalan penyelesaiannya. Namun, sekali lagi, konteks Papua cukup rumit. Tidak saja menjadi problema masalah dalam negeri, tetapi eskalase kekuatan ekonomi dunia yang bercokol mengakibatkan perjuangan damai di bumi Papua tidak sekedar masalah sengketa tanah, atau batas-batas wilayah otonom, tetapi lebih pada upaya memberi kedaulatan itu sendiri. Maka itu, kompleksitas masalah Papua yang hendak di dorong ke arah perdamaian seharusnya di pandang sebagai problem yang lebih jauh konfliknya diatas segala konflik yang bertaburan di Indonesia seluruhnya.
Dan inilah sumber masalah mengapa perlu Papua damai. Persoalan bermula dari perebutan antara Indonesia dengan Belanda yang menyebabkan kontak senjata. Higga pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda di Irian Barat menyerahkan wilayah ini kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga 1 Mei 1963. Selanjutnya, PBB merancang suatu kesepakatan yang dikenal dengan New York Agreement untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat Irian Barat melakukan jajak pendapat melalui Pepera pada 1969, seharusnya 800 ribu jiwa orang Papua ikut memilih, namun hanya diwakili 175 orang yang yang di hitung bahwa mereka mewakili 1.25 warga. Kecelakaan penyelenggaraan PEPERA diatas menghasilkan rakyat Irian Barat atau West Papua setuju untuk bersatu dengan pemerintah Indonesia sesuai Resolusi PBB 2405. Itulah letak persoalan Papua sehingga upaya merajut damai di Tanah Papua tidak segampang mendamaikan Papua demi keamanan nasional Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.