Dibaca :

Minggu, 04 Maret 2012

Neraca Ekonomi Dan Ekspetasi Rakyat Papua

Dubes AS Resmikan Taman Bacaan Amerika Di Jakarta
Oleh: Arkilaus Baho

Ini ceritera tentang harapan atau simber daya berupa ekonomi yang di miliki oleh rakyat Papua seimbang dengan apa yang di sediakan oleh pasar. Jadi, kalau harga barang di Papua mahal tak ada masalah. Hehe. Neraca ekonomi Papua sesuai dengan Produk Domestik Regional Bruto ( PDRB ) sejak tahun 2000 sebelum otsus hingga tahun 2010 sesudah otsus PDRB Papua dari 18,41 Milyar meningkat sedikit menjadi 89,451 Milyar. 

Ekonomi Papua, khusus untuk suplai barang dan peredaraan uang, masih di kuasai oleh beberapa kekuatan ekonomi yang dominan sampai sekarang. Ya, pulau Papua memiliki nilai strategis yang sangat tinggi bagi geopolitik Indonesia, akibat faktor geografis dan faktor ketersediaan sumber daya alam yang terkandung di dalamya. Hal tersebut disebabkan posisi strategis Papua yang berbatasan dengan negara-negara yang menjadi kekuatan ekonomi potensial mulai dari Filipina di sebelah utara, yang merembet ke Hong Kong, Taiwan, Jepang, hingga kepulauan Pasifik dan Benua Amerika di sebelah timur dan di selatan berhadapan dengan Timor Leste dan Australia.

Daya beli orang Papua atau siapapun yang berdomisili di Tanah Papua, selama ini tidak ada efek penurunan. Bahkan, daya beli rakyat Papua justru meningkat. Peningkatan ekspetasi ekonomi pasar ini sudah berlangsung sebelum maupun sesudah otonomi khusus di berikan ke Papua. Jadi, otsus tak ada pengaruhnya atau tidak dampak yang signifikan bagi kemajuan ekonomi Papua.

Sejak otonomi khusus diberlakukan selama delapan tahun ini, perubahan tidak berjalan dengan optimal. Keberadaan dana otonomi khusus nampaknya tidak berdampak signifikan terhadap pembangunan daerah. PDRB Papua sejak diberlakukannya dana otonomi khusus pada tahun 2002 hanya berubah sedikit, dan kemungkinan juga ditimbulkan karena inflasi. 

Pada tahun 2000 dan 2001 PDRB Papua adalah sebesar Rp 18,41 milyar dan Rp 21,6 milyar. Sedangkan setelah dana otonomi khusus diberlakukan ternyata PDRB hanya meningkat menjadi Rp 22,55 milyar (2003), Rp 23,89 milyar (2004), Rp 24,84 (2005), lalu setelah ada pemekaran provinsi, PDRB propinsi Papua menjadi Rp 43,61 milyar (2005), Rp 46,89 milyar (2006), Rp 55,38 milyar (2007), Rp 54,73 milyar (2008), Rp 68,35 milyar (2009), dan Rp 89,451 milyar (2010).

Berdasarkan survei konsumen yang dilakukan Bank Indonesia pada Februari 2012, oleh kompas.com 2 Maret 2012, melansir ekspektasi masyarakat terhadap kinerja ekonomi Papua dan Papua Barat masih tinggi. Tiga indikator, yaitu indeks keyakinan konsumen (IKK), indeks kondisi ekonomi (IKE) , dan indeks ekspektasi konsumen (IEK), yang dilihat di dua kota, yaitu Manokwari dan Jayapura, menunjukkan angka di atas seratus.

Indikator diatas, baik ekspetasi masyarakat maupun neraca Papua tanpa otsus, dianggap membaik atau meningkat, tetapi kenyataannya menurut badan pusat statistik ( BPS ), angka kemiskinan propinsi Papua juga masih terpuruk. Selama sembilan tahun sejak diterapkannya kebijakan tersebut, angka kemiskinan di Papua masih tinggi. 

Pada tahun 1999, jumlah penduduk propinsi Papua yang berada di bawah garis kemiskinan sebanyak satu juta jiwa, meningkat dari tahun 1996 sebesar 830 ribu jiwa. Pada tahun 2010, jumlah penduduk yang berada di bawah kemiskinan di tersebut sebesar 761 ribu jiwa dan 256 ribu jiwa di propinsi Papua Barat, menempati posisi pertama dan kedua dengan persentase jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia.

Dari segi jumlah dan pemasukan dan pengeluaran ekonomi daerah Papua dan Papua Barat cukup menigkat, lalu ditambah lagi dengan ekspetasi rakyat yang mampu menyerap kehadiran pasar, toh sama sekali tak seimbang dengan taraf hidup rakyat Papua yang sebagian besar jauh dari dunia ekonomi globalisasi. 

Artinya, tidak semua rakyat Papua mampu menyerap roda kapitalisme di Papua, tetapi hanya warga Papua di perkotaan saja yang menyerap pasar. Padahal, jumlah penduduk Papua maupun Papua Barat lebih banyak berdomisili di pedesaan. 

Sekali lagi, kalau ingin kejayaan pasar bebas terus meningkat ke Papua, jangan hanya asal rekayasa statistik ekonomi demi pemujaan para pasar yang serakah.

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.