Oleh: Arkilaus Baho
Pada 21 November 2009 pukul 16:26
“ Suatu masalah dalam upaya pemenuhan Ekologis, HAM dan Demokrasi ”
Mafia kasus hukum dan tambang bukannya hal baru dalam sebuah negara farian kapitalisme di dunia. Keadilan di jarah, ruang demokrasi di bungkam, kemanusiaan mati suri dan perangkat negara harus takluk dalam dominasi modal. Dunia tak bisa dibalikan, yang hanya mampu di rubah hanyalah aturan bersama untuk dapat memenuhi kepentingan bersama dan bermartabat pula. Itulah tujuan sebenarnya perjuangan menentang hedonisme imperialisme di Indonesia untuk terus menyuarakan dan membasmi watak kaum tiran dan para drakula yang memakai baju hukum negara.
Simak saja sinetron para tirani freeport dan drakula hukum negara dalam kasus PT. Freeport akhir-akhir ini. Enam dari tujuh tersangka diduga terlibat kasus penembakan dan pembakaran bis Freeport di Mile 71, pada 8 Juli dan seorang lagi terlibat kasus kepemilikan amunisi. Keenam tersangka kasus penembakan dijerat pasal 340 jo pasal 338 jo pasal 55 ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati.
Jadi, konflik yang terjadi semestinya digarap bagi kesempurnaan negara yang berdaulat. Pernyataan tersebut sudah ada dalam buku DR. Dino Pati Jalal “ HARUS BISA “ dimana beliau menulis bagaimana SBY ( presiden sekarang ) selalu memandang konflik sebagai keberuntungan. Maka itu benarlah, logika kapitalisme tak beda pula. Bahwa konflik sosial menjadi jalan terbaik untuk memukul mundur kaum radikal pencinta rakyat demi kemulusan peningkatan usaha.
Kasus semacam ini mari berkaca pada tragedi yang berulang kali terjadi di Bumi Papua Barat, yaitu PT. Freeport. Adalah penolakan terhadap kehadiran Freeport malah mejandi lahan keamanan negara bagi oknum militer tak profesional, rekayasa perang budaya di Timika jadi entri point bagi pemenuhan keamanan freeport semata hingga penembakan oleh orang tak dikenal justeru lagi-lagi penduduk sipil tak tau apa-apa jadi sasaran tembak yang diapakai para broker hukum negara demi pemenuhan free & port semata.
Fakta masa lalu dan hari ini, dalam kasus di Areal PT. Freeport dinamika drakula dan tirani modal sebagai aktor kunci dalam pengelolaan stabilitas politik dan keamanan sosial. Apalagi soal pemenuhan ekologis, HAM dan Demokrasi yang semestinya menjadi cita-cita bersama malah menjadi urusan terbelakang negara saat ini. Penangkapan demi penangkapan dan teror terhadap warga sipil tak berdosa Klimaks sandiwara ini, tahun 2009 Indonesia heboh dengan berbagai stigma. Ada Markus ( Makelar Kasus ) dan Cicak-Buaya. Esensi sebenarnya adalah sama. Yaitu pemodal menjajah negara melalui intrumen negara sendiri baik lembaga, pribadi maupun broker politik bermental nonkenegaraan.
Kancah Perpolitikan Nasional Indonesia dalam kasus POLRI-KPK dan Bank Century niscaya tak bisa di dapat solusi bagi perubahan dalam merombak broker hukum negara. Begitu jugam tirani Freeport yang terus mencengkeram institusi negara tak bisa di sepelekan begitu saja, namun perubahan demi kehidupan yang lebih adil dalam negara harus di jadikan simbol perubahan menuju pemenuhan bagi keadilan ekologis, pemenuhan HAM dan Demokrasi.
Hanya dengan idelisme prokteksi ekonomi secara keseluruhan, kita berharap nafas keadilan menjadi nyata. Inti dari rasa keadilan hari ini tak jauh-jauh, tetapi Investigasi kasus teror di Freeport telah gagal akibat profesionalisme kepolisian yang seakan-akan superbody ini harus diakhiri dengan cara BEBASKAN TANPA SYARAT TUJUH WARGA PAPUA yang diduga terlibat dalam kasus teror Freeport. Dimana fakta membuktikan teror terus terjadi hingga berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Mari memulai untuk menggendor pola ketidakadilan SDA selama ini dalam upaya penegakan hukum bagi para tirani seperti Freeport yang selama ini sudah terbukti superbodynya. Semoga!
@Westapua-arki
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.