Dibaca :

Kamis, 23 Februari 2012

SBY-Boediono Takut Freeport? Gulingkan!

Penegakan Hak Asasi Manusia, terutama di Papua dan Papua Barat. Foto dari google
Oleh: Arkilaus Baho
Pada 10 November 2009 pukul 19:31

“10 November hari pahlawan, selamat merayakan. Tetapi, 10 november 2001 silam, Ondofolo Theys Hiyo Eluay Terbunuh oleh Negara Sendiri, begitulah namanya negara plastik”.

Belum lama mengemban amanah rakyat Indonesia tahap ke-dua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kali kedua ini mengandeng capres Boediono telah menunjukan ketipangan dalam segala bidang. Ketidak seriusan pemerintahan dapat di katakan sebagai bentuk tidak berpihak kepada keutamaan nasional. Baik aspek ekonomi bangsa, politik belum ada perubahan sejati yang di dapat.

Pak presiden sejak terjadinya kasus teror di PT. Freeport seakan membisu seribu kata, tatkala jalan mulus yang diharapkan mampu menjembatani upaya penyelesaian masalah tambang dengan kasus tambang hari ini di Timika Papua. Kelalaian pemerintah patut di pertanyakan, buat apa kalau pemerintah mandul kayak gini mau di pertahankan?. Rakyat butuh pemimpin pelindung dan pembela hak warga dan bukanya manut bagi kepentingan investor. SBY dan wapres adalah pasangan yang pro investasi, namun tidak di barengi dengan proteksi kedaulatan, adalah naif sekali bila giat memasukan investasi demi kemakmuran tak bisa dapat terwujud.

Terbukti, Makelar kasus pun kian marak terjadi di era rezim investasi saat ini. Bentuk dan wujud masalah saat ini pun tak mampu di atasi negara dengan keberpihakan penuh pada keadilan dan kedaulatan bangsa. Indonesia terutama negara berlimpah SDA yang nyatanya telah lama habis begitu saja kekayaan alam negeri ini di keruk habis oleh kaum pemodal internasional yang berbasis ke dalam negeri menggunakan baju putra bangsa sendiri. Para antek neo-liberal di Indonesia semakin subur pula dan meniadakan kepentingan rakyat semesta.

Lahirnya tragedi PT. Freeport Indonesia di Tanah Papua adalah akumulasi tragedi kemanusiaan yang bertahun-tahun menumpuk dan belum juga di atasi secara bermartabat. Kronisya persoalan Papua tak bisa luput dari intervensi pemodal internasional yang telah lama menunjukan hedonisme pemberdayaan, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat Indonesia sejak jaman dahulu hinggga era otonomi khusus di Papua.

Tugas warga negara adalah mendukung cita-cita kemerdekaan bangsa, kedaulatan dan kemakmuran yang seharusnya dapat di respon oleh negara ( pemerintah ). Terbalik memang, sejak dinamika negara di kelola oleh para agen kapitalis. Entah siapa saja, wajah mereka adalah pola prilaku mengedepankan keutamaan investasi dan mengibuli hak-hak kejayaan rakyat dalam segala bidang.

Indonesia harus bubar dengan sendirinya, jika perangkat negara hanyalah alat bagi pemupukan legitimasi para penindas dunia. Sebab negara tidak punya pendirian akan mudah di cabik-cabik dalam berbagai polemik kepentingan semata. Simaka saja, kasus mafia peradilan kelas kakap yang hari ini mewarnai dimensi politik nasional, mudah menggoyahkan negara. 

Rakyat menjadi penonton bagi sandiwara para mafia yang mengguncang. Itulah kasus Bank Century, KPK VS POLRI dan SBY-Boediono berdiri dalam persimpangan kebingungan mau berbuat apa. Entah tim delapan terbentuk untuk kasus KPK-POLRI, namun TIM abunawas bergerilya di areal Freeport dengan moncong senjata dengan stigma mengamankan aset negara.

Paradigma bernegara demi ruang seluasnya bagi para mafia-mafia memang itulah realitas bangsa saat ini yang berada dalam kendali para mandor imperialisme. Mafia kasus tidak hanya meledak dengan kasus korupsi saja, tetapi para mafia tambang semestinya dapat di gigit dalam suatu instrumen negara yang benar-benar memiliki hubungan proteksi bagi keadilan ekonomi, pemenuhan ekologis dan HAM, dengan tujuan kemaslahatan bangsa dapat di wujudkan. 

Tak akan ada stabilitas politik dan ekonomi yang permanen bila jargos kolonialisme merajalela dalam negeri. Sudah begitu, keutuhan negara hanyalah mimpi bagi segelintir chauvenistik RI.. Sebab, Indonesia dan wilayahnya telah di gadai habis, 80 persen representatif investasi asing di Indonesia sebagai fakta akumulasi ideologis kelompok lain telah matang dan tinggal menunggu waktunya saja. Merdeka!

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.