Dibaca :

Kamis, 23 Februari 2012

64 Tahun NKRI, Freeport Merdeka


Salah seorang warga Papua tergeletak usai bentrokan antara pendukung Bupati Wamena ( David Hubi ) dengan aparat militer NKRI yang hendak menangkap sang Bupati terakit kasus korupsi@Wamena, 2004
Oleh: Arkilaus Baho
Pada 15 Agustus 2009 pukul 12:09

Detik-detik menjelang perayaan usia 64 tahun Negara Indonesia ini, terjadi masalah krusial bangsa yang terus dibiarkan. Terhitung sejak bulan Juli 2009 saja, orang tak dikenal berondong tembakan yang menewaskan karyawan PT.FI dalam areal investasi PT. Freeport Indonesia di Timika Tanah Papua sampai saat ini tanpa sebuah penyelesaian yang bermartabat oleh Bangsa Indonesia jelang HUT Nasional negara. 

Inilah bukti bahwa lingkaran keadilan bagi investasi diutamakan selama ini, terutama keberada Freeport di Papua lebih merdeka dibanding kemerdekaan Indonesia maupun kedaulatan rakyat Papua. Gunung dibor, lingkungan di cemari, rakyat di pindahkan dari habitat aslinya bahkan pulau Papua bagian barat ( Sorong-Maroke) dijual secara sistematik dalam rasio penentuan detik-detik integrasi Papua.

Jika dicermati, luas keseluruhan areal kontrak karya Freeport di Papua saja selama 39 tahun sudah memasuki 1 juta hektar lahan eksplorasi. Jumlah tersebut termasuk juga areal penambangan mineral dan batubara di seluruh Indonesia sampai tahun 2005 telah mencapai lebih dari 44 juta hektar atau mencapai 44% luas hutan Indonesia. Penting untuk diketahui bahwa sebagian besar lokasi kontrak mineral dan batubara umumnya berada di kawasan hutan. 

Luas areal yang diserahkan pemerintah melalui skema kontrak tersebut mencapai 23% dari luas daratan Indonesia. Berdasarkan laporan Direktorat Mineral dan Batubara menyatakan bahwa sampai tahun 2005 terdapat 13 perusahaan tambang skala besar yang tengah berproduksi di Indonesia . Perusahaan tersebut bersifat padat modal yang hanya menyerap sedikit tenaga kerja sebagai operator untuk mengangkut material yang diolah menjadi konsentrat. Konsentrat tersebut diperoleh dengan cara memisahkan material yang bernilai ekonomis dari material yang tidak bernilai ekonomis. 

HUT Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 2009 dirayakan dalam usianya yang ke enam puluh tahun. Refleksi yang paling mendesak adalah sudah kah kedaulatan Negara atas segala cengraman kepentingan politik dan Negara-negara kapitalisme lainnya?. Pidato Presiden dihadapan anggota DPR-RI di senayan city ( Jumat 14 Agustus 2009 ) sudah beralu. Agenda pemerintahan kedepan tergambar pula dalam pidato tanpa teks Bapak Presiden. Yang menarik adalah dalam pidato kepala Negara mengaku bahwa Indonesia adalah satu dari Negara-negara asean yang mampu bertahan bahkan sebagai penyuplai bagi stabilnya krisis ekonomi dunia akhir-akhir ini.

Indonesia adalah salah satu Negara penghidupan ekonomi bagi penduduk Amerika Serikat yang nota bene harus hidup dalam lilitan pajak Negara. Sistem politik dan ekonomi Amerika yang sudah kuat dalam tatanan roh kapitalisme, mangakibatkan suhu politik Negara adidaya tersebut harus mempertahankan negaranya dengan anggaran pajak yang diterapkan oleh pemerintahan terhadap penduduk AS maupun ekspansionisme kepentingan ekonomi ke Negara-negara lainnya, benua Asia khususnya Indonesia merupakan Negara paling banyak menjual asset kekayaan kepada Negara-negara Kapital termasuk AS. 

Koalisi Anti Utang “ KAU” lembaga advokasi utang Negara dalam rilisnya “ Empat Puluh Tahun Merdeka, Enam puluh tahun dijajah Utang “ ( www.kau.or.id ) sangat menakjubkan bahwa Sejak 60 tahun lalu (1949 – 2009), Indonesia terus dijajah oleh utang. Dalam perjanjian Konfrensi Meja Bundar (1949), Belanda mewariskan utang sebesar US$ 4 miliar dolar sebagai syarat kemerdekaan republik. Padahal utang tersebut digunakan untuk memerangi rakyat Indonesia dan menguras kekayaan alam. Sampai tahun 2005, Koalisi Anti Utang (KAU) mencatat, total komitmen utang luar negeri yang sudah dicairkan jumlahnya mencapai US$ 162,3 miliar (sekitar Rp1.600 triliun).

Ibarat tak ada atruan bagi pengelolaan Negara yang berdaulat, utang Negara yang begitu bertambah tidak mampu di tanggulangi Negara dari hasil pelimpahan investasi dalam negeri. Freeport di Papua saja, setiap hari punya nilai produksi 27 juta dollar AS, dan beroperasi hingga tahun 2041. Freeport punya penghasilan saja sudah demikian belum lagi perusahaan asing lainnya dari total 80 persen asset asing dalam Indonesia. 

Logika ekonomi dan politik sebuah kekuasaan Negara berdaulat bila digadaikan, kita tunggu kapan saja dan dimanapun kemauan pemodal yang telah merdeka dalam NKRI untuk ambil alih Negara. Ya, negara ini sudah tidak berdaulat bahkan telah dijual secara sistematik kepada Negara lain melalui pinjaman dan penanaman modal asing. 

Untuk mengatasi krisis dengan utang baru yang di tulis Salamudin Daeng dari Institute For Global Justice ( IGJ ) halaman 128-global justice update edisi 2 juni 2009, bahwa tambahan utang baru bagi Indonesia terutama disaat krisis global semakin memperparah kondisi masyarakat Indonesia. Negara Indonesia tidak akan mampu menyediakan sendiri dana pembangunan dan bahkan jaminan sosial bagi rakyatnya, karena dananya telah habis dibayarkan untuk cicilan pokok dan bunga utang laur negeri.

Sudah begitu pasrahnya pemerintah terhadap utang, berondongan Dominasi investasi usaha asing tak bisa dibendung lagi. Kemerdekaan investasi hari ini sebagai wujud dari pelatakan dasar utama modal raksasa yang lahir dari pemasukan PT. Freeport kedalam bingkai Indonesia melalui instrumen hukum UU PMA. Freeport buka jalan bagi kemerdekaan investasi. 

Walaupun saat ini perayaan HUT 64 tahun berdirinya Negara Indonesia, rubuh sudah dengan dinamika dominasi kemerdekaan neoliberalisme. Tak mampu di atasi, fakta-fakta diatas, mengharuskan pemerintah terus bersemangat menerima investor kedalam Indonesia demi pembayaran utang Negara. Investasi di Papua seperti Feeport yang sudah lama dan grup pemodal seperti Binladen Grup, Jepang dan Cina, Inggris, yakinlah hanya untuk kepentingan pelunasan utang Negara dan bukan untuk kemakmuran dan keadilan rakyat Papua. 

Keadilan ekologis, pemenuhan HAM, demokrasi sejati tidak bisa diharapkan dapat dipenuhi bagi Negara dalam ruang kemerdekaan imperialisme hari ini. Faktanya, pemenuhan Ekologis, HAM dan demokrasi mati suri akibat hegemoni pemodal. Negara menyelenggarakan ekonomi nasional dalam kekangan ( berondong ) kapitalis kemudian menghalalkan semua kerusakan lingkungan, menghalalkan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan demokrasi demi kelangusungan penanaman modal dalam negeri. 

Sudah begitu, jargon Otonomi Khusus Papua pun di-berondong bagi pemenuhan kekuatan modal internasional sejati. Hanya butuh kekuatan politik pemberani dengan menyingkirkan rezim neoliberal dalam kekuasaan Indonesia maupun Papua, mem-berondong Freeport sebagai akar masalah penjajahan kekayaan alam, demi sebuah proteksi kedaulatan rakyat Indonesia dan Papua khususnya untuk pemenuhan bagi keadilan ekologis, penegakan HAM dan pemenuhan ekonomi menjadi satu benteng kemerdekaan. 
@Westapua-arki
Best regards,

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.