Oleh: Arkilaus Baho
Pada 9 Agustus 2011 pukul 21:48
Dalam upaya mendukung suhu damai orang Papua, tulisan sederhana bertema Radang Konflik Pemaksaan Kehendak patut dijadikan acuan bagi pergelaran perdamaian Papua. Hal pokok yang diangkat adalah bagaimana hubungan kepentingan Indonesia dengan kepentingan rakyat Papua. Hubungan kepentingan dimaksud ialah pola keinginan Negara Indonesia menyelesaikan masalah Papua dengan pola keinginan penyelesaian masalah Papua yang diinginkan oleh rakyat Papua. Pertentangan kehendak, khususnya di era globalisasi sekarang akan berakhir pada kehendak penguasa. Inilah ruh dari demokrasi liberal yang berlaku di seluruh dunia.
Kisruh sosial bukanlah fenomena baru di dunia. Konflik di Indonesia khususnya provinsi Papua menurut tulisan ini merupakan suatu konflik yang sudah meradang. Meradangnya konflik Papua dapat dikaji dalam aspek yang sederhana. Pemaksaan kehendak merupakan pola dan prilaku bagi suburnya konflik. Pemaksaan kehendak disebut sebagai suatu radang konflik ketika hal itu terjadi dan nyata, bahwa apa yang menjadi suatu kehendak yang dijalankan oleh kelompok maupun faksi menjadi tradisi. Pergesekan terjadi baik akibat faktor internal maupun eksternal. Kontradiksi atau pemaksaan kehendak melahirkan kebuntuan yang panjang bagi terwujudnya keadilan dan kedamaian.
Karakter pemaksaaan kehendak juga dapat dipandang sebagai suatu hal yang menghambat dalam mengelola penyelesaian masalah Papua. Sebab suatu konflik dapat menekan arah penyelesaian secara menyeluruh dan demokratis, bila kehendak masing-masing pihak tidak dipahami secara mendalam sebagai prospek penting untuk menyatukan suatu komitmen bersama dalam membangun solusi Papua.
Pisau bedah yang saya gunakan adalah melalui cara pandang ekonomi dan politik, guna membuka apa yang menjadi kehendak berbagai pihak, baik Indonesia maupun kelompok Papua agar terbuka jalan menuju penyelesaian Papua. Marx, filsuf tua punya analisis klas yang lebih mementingkan materi capital, mengharuskan perubahan mengikuti corak kapitalisme.
Cara pandang Marx dahulu dan sekarang banyak yang kemudian mengebiri, berkaitan dengan relevansi kajian klas sosial dengan aspek pemenuhan perubahan. Aliran liberalisasi pasar, menghasilkan problem di berbagai lini sosial masyarakat. Gerakan perubahan kemudian beragam. Misalnya, kelompok sosialis utopia punya pandangan berbeda bagi perubahan rakyat. Begitu juga pandangan kelompok sosialis liberal punya maksud lain dalam menerjemahkan klas sosial masyarakat.
Sampailah pada kejayaan kapitalisme pada era globalisasi sekarang. Perjuangan demokrasi dipaksakan masuk dalam rel atau jalan globalisasi. Globalisasi sendiri sudah ada sejak manusia bercorak produksi dan meniadakan corak alamiah. Corak produksi tidak saja terbatas pada penggunaan alat-alat modern tetapi lebih pada pemanfaatan nilai lebih sumber daya. Sesuatu yang diperdagangkan dan untuk diambil keuntungannya. Corak alami merupakan corak yang tidak mengenal nilai lebih. Maka itu alat-alat produksi bukan jawaban satu-satunya bagi nilai lebih.
Radang Kehendak Globalisasi di Papua
Proses sejarah Papua yang cacat atau tidak adil bukan hal gampang. Pemaksaan kehendak dari globalisasilah yang menghendaki demikian. Diawali dengan kegagalan Otsus, pembelokan referendum Papua tahun 1969, sampai pada trikora 1 mei 1963 dan operasi berdarah pada dekade operasi militer ; DOM. Kepentingan kejayaan pasar sudah mendirikan bendera mereka di Papua. Satu fakta adanya proses rekayasa demokrasi orang Papua ialah ketika mata rantai eksploitasi berkibar dengan aman saja di bumi Papua. Pemaksaan kehendak pemodal di Papua dijalankan dengan tujuan mengamankan kepentingan restorasi ekonomi.
Freeport hadir di Papua tahun 1967 kemudian memaksakan kehendaknya agar PEPERA 1969 harus dipaksakan berjalan. Maka dikenalah istilah pepera dijalankan dengan perwakilan 1026 orang saja. Alasan utama penyelenggaraan PEPERA dengan metode wakil adalah dikarenakan kondisi geografis yang sulit dijangkau. Kacamamata ekonomi dan politik yang saya gunakan dalam tulisan ini membenarkan bahwa pemaksaan modal inilah yang menjadikan segalanya cacat demi kapitalisme.
Otonomi Khusus dijalankan melalui UU 21. Satu perangkat hukum yang baru diberlakukan. Tujuanya sama saja, untuk memaksakan kehendak pemodal agar lebih dominan di Papua. Ya, ijin konsesi pertambangan ada di tangan para kepala daerah. Sebab, sebelum otsus, para investor jijik dengan birokrasi yang berbelit bagi perijinan suatu usaha. Nah, otsus turun ke Papua untuk menjawab kehendak pemodal. Dengan demikian, untuk mendapatkan tanah yang banyak, mereka cukup dengan hanya membayar kepada kepala daerah saja dan dengan mudah mendapat ijin sebagai legal hukum. Perjalanan otsus yang dikendalikan dari Jakarta akhirnya menjadi harus berbenturan dengan pemaksaan kehendak rakyat Papua. Pemaksaan kehendak orang Papua diwujudkan dengan berbagai penolakan.
Kehendak orang Papua sebenarnya tidak perlu direka-reka, dasar peradaban orang Papua yang hendak dirubah kearah globalisasi merupakan inti dari kegerahan masyarakat Papua. Bagaimana caranya peradaban orang Papua punya tempat yang sama di ruang globaliasi sekarang?. Pertanyaan tersebutlah yang kemudian mengharuskan saya memakai pisau bedah ekonomi politik untuk membuka tabir kehendak masing-masing dalam melihat konflik Papua yang kian meradang.
Rente kapitalisme Papua dianggap aman dikendalikan oleh agennya di Indonesia, daripada diatur sesuai dengan peradaban orang Papua. Kehendak Papua untuk menjalankan nasibnya sendiri sesuai dengan semangat Papua, malah menjadi suatu kehendak yang harus terus dipaksakan. Menundukan globalisasi memang tidak mudah. Globalisasi ibaratnya sudah merasuk ke sum-sum tulang kita semua. Sudah sebegitu parahnya pengikut globalisasi meyakinkan dunia bahwa cara merekalah yang terbaik, sehingga apapun cerita dan paham anda harus diberantas. Dengan demikian, peradaban Papua yang dianggap menghalangi dan tidak memiliki nilai ekonomis diberangus.
Peradaban asli Papua yang dianggap memiliki nilai ekonomis dijaga dan dilindungi, tetapi dengan tujuan untuk dirusak. Tanah orang Papua yang mengandung emas dan kekayaan alam lainnya dijaga. Freeport menggusur penduduk asli suku Amungme dan Kamoro dari Tanah mereka karena di dalam tanah terkandung emas dan tembaga. Sedangkan budaya dan prilaku penduduk setempat diberangus, karena tidak menghasilkan nilai ekonomis bagi kapitalis. Kalau kapitalisme itu tidak anti peradaban asli, kenapa dengan kekuatan dana yang banyak dari hasil emas dan tembaga, tidak digunakan untuk mempromosikan budaya suku kamoro atau Amungme menjadi trend budaya di manca negara. Tapi karena budaya tersebut dianggap tidak memiliki nilai ekonomis, maka itu dikubur.
Sebagian penduduk Papua merupakan pemakai buah rotan untuk menutup kemaluan mereka. Saudara saya di pegunungan Papua merupakan penduduk Papua yang jumlahnya besar dan mereka menggunakan koteka. Bagi kapitalisme, koteka tidak punya nilai dagang untuk dipasarkan. Maka itu, siapapun yang hidup di luar budaya dagang tidak perlu dibangun sebab hanya membuat kerugian saja. Untuk menjawab pemaksaan kehendak dari kapitalisme yang anti barang tidak ada nilai dagang tadi, maka dibuatlah pandangan miring bahwa orang Papua pakai koteka merupakan simbol keterbelakangan. Koteka bagi orang Papua ialah budaya dan harga diri. Bagi saya, koteka ialah simbol ketulusan hati. Orang Papua punya budaya polos, mereka tidak suka ditipu atau dibohongi, bahkan dirubah kehidupannya dan digantikan dengan kehidupan yang penuh dengan nilai dagang atau romantisme pasar.
Penjelasan singkat diatas hanyalah hal kecil saja dari bentuk lain pola pemaksaan kehendak globalisasi di Papua yang kian meradang. Kapitalisme di Papua tetap saja meradang demi hegemoni mereka. Siapapun yang mengupayakan keutuhan Papua seakan membuat rantai globalisasi di Papua terus meradang. Demikian pemaksaan kehendak versi globalisasi di Papua. Pemaksaan kehendak globalisasi menyumbang suburnya konflik Papua.
Indonesia dengan Papua : memaksakan Kehendak Demi Penyelesaian Konflik
Indonesianis pasti marah kalau saya tulis Indonesia dengan Papua, karena bagi mereka bahwa Papua itulah Indonesia, jadi tidak perlu dipisahkan. Wah, beda dong. Penulisan ini lebih pada membedah keruwetan konflik Papua yang telah kronis. Karena konflik Papua itu terjadi antara kepentingan Papua dengan kepentingan Indonesia, maka itu saya patut memisahkan Papua dengan Indonesia dari kacamata ekonomi maupun politik yang saya pakai untuk membedah pemaksaan kehedak-kehendak yang berujung pada konflik. Saya lebih memilih menulis Indonesia daripada sekedar menulis pemerintah Indonesia, sebab kalau saya menulis Pemerintah Indonesia, pasti ada faksi di Indonesia yang merasa bukan bagian dari pemerintah yang berkuasa.
Apa dan mengapa sampai pemaksaan kehendak orang Papua terus menerus ada. Ulasan singkat sebagai gambaran umum kekinian Papua dimulai dari berikut ini. Ide untuk mendirikan Negara baru di Papua oleh rakyat Papua diawali dengan cerita mistis. Generasi Papua sebelum datangnya teori modern tentang negara, mereka telah diceritakan oleh para tua-tua mereka tentang suatu kisah mistik, baik kisah berupa kehidupan keluarga yang rukun dan baik sampai pada keberanian seorang tokoh. Toh, cerita tersebut tidak dikembangkan ke dalam kehidupan nyata berupa cuplikan cerita tokoh orang Papua. Beda dengan suku di Jawa yang masih terus mengembangkan tokoh seperti tokoh pewayangan. Jadi karakter orang Papua tentang hal baik dan hal tidak baik sudah menjadi doktrin terus menerus sampai alam kesadaran modern yang mengadopsi ilmu dan pengetahuan, yang beranjak dari budaya cerita ke budaya tulis.
Fase kolonialisme Papua, dari berbagai buku tentang Papua, salah satunya Buku Prof. DR. Drooglever yang menulis dari arsip penguasaan koloni di Papua. Proses penyelesaian Papua ditulis begitu terbuka. Baik masa kekuasaan Belanda maupun berakhir pada kekuasaan Indonesia sekarang. Proses untuk menentukan satu pulau Papua itu rumit. Liga Bangsa-bangsa saja, atas kepentingan sepihak Raja Inggris dan Ratu Belanda, Papua dibagi dua Negara sampai sekarang. Pengaturan Papua Timur atau yang kita kenal Papua Nugini lebih simple daripada penyelesaian Papua Barat yang saat ini saya tulis dalam kaitannya atas Papua yang memaksakan kehendaknya dengan Indonesia.
Kehendak yang dipaksakan Papua kepada Indonesia tidak lain adalah ketulusan hati Indonesia atas Papua. Ketulusan jiwa dan ketulusan dalam membangun Tanah Papua. Ketulusan dalam duduk sama-sama untuk bicara Papua. Ketulusan untuk berani duduk dengan Papua membicarakan apa yang orang Papua anggap salah. Kesalahan masa lalu jangan dikubur. Pemaksaan kehendak orang Papua agar Indonesia tulus dengan Papua diungkapkan dalam bentuk-bentuk persoalan yang berbeda. Misalnya saja, kenapa Indonesia tidak mau tulus menerima pencetusan Negara Papua pada 1 Juli 1965. Kenapa Indonesia tidak mau terima kalau kami orang Papua bilang bahwa Pepera dulu itu tidak benar. Kenapa Indonesia tidak mau kalau kami protes kehadiran Freeport dan bentuk-bentuk free and port di Papua.
Kenapa juga aspirasi kami yang kami sampaikan selalu dijawab dengan kebijakan lain dari Indonesia. Sekelumit masalah penembakan dengan stigma separatisme yang menjurus kepada pelanggaran HAM dan genosida juga menjadi bagian dari pemaksaan kehendak orang Papua kepada Indonesia. Pemaksaan kehendak orang Papua kepada Indonesia untuk mencegah jangan sampai mengindonesiakan Papua dengan cara membabibuta, tetapi bahwa Papua menjadi penting bagi dunia dan Indonesia, maka itu Papua harus ada di dunia, bukan ditenggelamkan.
Dengan demikian, sebaiknya Indonesia jangan tinggal diam. Pendekatan militeristik telah terbukti gagal memaksakan kehendak Indonesia terhadap Papua. Disatu sisi, atas kepentingan pemodal di Papua, Indonesia dipaksakan untuk menggunakan kehendaknya mengamankan investasi di Papua. Cara pemaksaan kehendak versi Indonesia ialah mengirim kebijakan berupa UU ke Papua. Ingat bahwa, kebijakan tersebut dibuat di Jakarta yang jauh dari Papua, karena dibuat jauh, maka isinyapun bukan untuk rakyat Papua. Berdasarkan pada ketentuan legal berupa UU, Indonesia memaksakan kehendaknya sampai apapun bentuknya, UU ditegakan. Labelisasi penegakan hukum dan keutuhan NKRI berawal ketika Indonesia oleh Negara-negara dunia dimandatkan Papua untuk diurus.
Soekarno datang dengan pemaksaan kehendaknya untuk merebut Papua, Trikora pecah 1 Mei 1963. Tidak saja Soekarno, presiden berikutnya datang ke Papua tetap dengan memaksakan kehendaknya dengan berlindung dibalik pemodal Freeport. Dia merubah nama Irian Barat ke Irian Jaya, menjadikan Papua sebagai Daerah Operasi Militer. Kelompok Papua yang menentang pemerintah dipaksakan lalu dinamai sebagai GPK -Gerakan Pengacau Keamanan. Orang Papua di-black list sebagai penduduk yang menganggu stabilitas Negara. Pemaksaan kehendak Suharto reda seketika reformasi pecah di Indonesia. Giliran anaknya pendiri Negara RI yang memaksakan kehendaknya. Megawati memaksakan kehendaknya ketika Papua dipaksakan menjadi dua propinsi. Selanjutnya, MRP -Majelis Rakyat Papua dipaksakan menjadi dua MRP dalam satu wilayah kultur. Aneh.
Tibalah pada fase berikutnya, yaitu pemaksaan kehendak dalam menyelesaikan persoalan Papua agar tidak ada konflik. Berawal dari kasus Timor Leste, Aceh, Ambon dan Poso, Indonesia dianggap berhasil menyelesaikan konflik. Entah kasus Timor Leste membuat trauma pemerintahan yang berkuasa, namun kasus Aceh yang damai justeru membuat suatu keyakinan baru bagi pemerintah untuk menangani Papua. Kehendak Jakarta untuk berunding saja yang bias, membuat pemerintah Indonesia bersedia berunding. Selain dari pola penyelesaian seperti Aceh, Indonesia tetap trauma jika penyelesaian kasus Papua mirip seperti kasus Timur Leste.
Indonesia sebagai Negara berdaulat, diakui mampu menuntaskan masalah sendiri. Penyelesian masalah Timor leste, Aceh, Poso dan Ambon menjadi fakta bagi dunia. Namun, suatu ketakutan baru kemudian muncul akan suatu keraguan bagi jalan penyelesaian masalah Papua. Dirunut dari awal dan akhir penyelesaian Papua akan mengemuka problem mendasar mengapa dan apa sebabnya Papua menjadi Tanah yang berkonflik dan harus diselesaikan segera oleh bangsa Indonesia. Aceh, Timor Lorosae hingga poso sudah berlalu, kini giliran Papua. Papua yang dimaksud ialah Tanah Papua bagian Barat yang berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di benak kelompok Papua pun tidak diam dan berusaha memaksakan kehendaknya pula agar pemerintah Indonesia menyelesaikan kasus Papua menurut kehendak mereka. Misalnya, desakan agar digelarnya referendum, atau adanya dialog untuk bicara tentang PEPERA, atau menolak transmigrasi dan menolak cara-cara penyelesaian Papua dengan militerisme. Semuanya bagian dari pola pemaksaan kehendak.
Nah, kapan selesainya masalah Papua kalau kedua belah pihak saling memaksakan kehendak masing-masing tanpa suatu penyatuan persepsi yang benar-benar mewakili kepentingan atau kehendak kedua belah pihak. Bagian penyatuan persepsi merupakan urusan pihak netral, baik berupa penokohan maupun organisasi. Kehadiran pihak ketiga juga diharuskan dari segi mata rantai pemaksaan kehendak. Pihak ketiga atau netral tidak saja kelompok asing, namun juga kelompok lokalis maupun nasionalis. Maka itu, tulisan ini bagian yang patut menjadi pedoman bagi upaya penyatuan kedua belah pihak yang sedang saling memaksakan kehendak ini. Dengan harapan, radang konflik pemaksaan kehendak dapat diselesaikan, dan pemaksaan kehendak diselesaikan juga dengan menempatkan cita-cita perdamaian sebagai tujuan bersama.
@Westapua-arki
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.