Oleh: Arkilaus Baho
Akhir-akhir ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hampir membatah tuduhan bahwa pemerintahan dibawah komandonya lalai membangun Papua maupun Aceh. Pernyataan kepala negara ini bikin saya harus kembali mempublikasikan tulisan saya yang sebelumnya dikembalikan oleh redaski opini media yang telah saya kirim. Menarik sebenarnya memperhatikan polemik opini yang dibangun SBY akhir-akhir ini tentang Papua. Terutama soal komitmen negara ( pemerintah ) soal penyelesaian masalah Papua.
Aceh sudah damai Papua belum. Kalimat penutup ini ketika penulis berpidato pada kongres Partai Rakyat Aceh (PRA) tahun 2007 silam. Seketika itu peserta kongres bertepuk tangan penuh haru. Suasana di Aceh ketika itu telah damai pasca gencatan senjata RI – GAM. Sewaktu di Aceh, penulis tidak melihat seorang pun aparat berseragam di jalanan, termasuk polisi lalu lintas yang biasanya kerap kita jumpai. Suhu damai Aceh saat itu membuat penulis memimpikan kedamaian yang sama bagi Papua ke depan. Timbul pertanyaan, kenapa Papua tidak bisa damai ?
Hampir setengah dekade berlalu, keadaan di Papua bukannya bertambah baik tapi semakin bermunculan konflik-konflik, diantaranya konflik yang terjadi akibat restorasi modal yang memicu kepada konflik politik antara Rakyat Papua sebagai pemilik tanah dengan investor yang berlindung dibelakang kebijakan pemerintah yang tidak pro kepada kepentingan rakyat.
Tuntutan Rakyat Papua sebenarnya jelas dan konsisten, yaitu menginginkan kesejahteraan dan kesempatan yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya. Kesejahteraan yang dimaksud bukanlah sekedar memberikan Rakyat Papua pakaian dan menyuruh mereka memakan hamburger, tetapi lebih kepada memberikan hak dan kedaulatan di tanah kelahiran mereka sendiri, tanpa dibayang-bayangi ancaman peluru dan intimidasi bahkan eksploitasi sumberdaya alam yang ada. Kesempatan yang diinginkan adalah mereka dilibatkan ke dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan Papua itu sendiri, bukan sebagai objek dari eksploitasi dan penggagahan atas tanah dan kultur.
Negara (Pemerintah) saatnya bertindak secara nyata dan konkrit untuk memenuhi keinginan Rakyat Papua sebelum pihak-pihak tertentu yang telah menyiapkan undang-undang khusus untuk melegitimasi perjuangan Rakyat Papua pisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sayangnya sampai detik ini, pemerintah masih tebar pesona dalam menyelesaikan masalah Papua. Padahal begitu banyak masalah yang ada di Papua telah melahirkan konflik yang serius dan berlarut-larut, yang dapat saja menjadi bom waktu bagi keutuhan NKRI ke depan.
Persoalan Papua sangat jelas. Pertama, berawal dari sejarah penyatuan Papua ke NKRI yang sampai saat ini masih dianggap cacat, karena tidak memenuhi keinginan Rakyat Papua secara keseluruhan. Dimana referendum/jajak pendapat tahun 1969 tidak melibatkan Rakyat Papua secara utuh, tapi hanya segelintir saja sehingga ini tidak layak untuk disebut sebagai sebuah jajak pendapat. Kedua, masuknya investasi asing yang mengeksploitasi Tanah Ulayat Papua yang mengakibatkan tergusurnya Rakyat Papua dari tanahnya sendiri. Selain mengikis kekayaan alam Papua, investasi asing juga melemahkan peran Negara dalam menjalankan fungsinya dalam mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan bangsa khususnya di Papua. Ketiga, problem terkini. Dimana Rakyat Papua menolak kebijakan Otonomi Khusus yang dianggap tidak meneyelesaikan persoalan di tanah Papua, tetapi Otsus hanya sebagai lips service politik belaka. Produk Otsus nyatanya dipakai sebagai kepentingan terselubung untuk menjarah Papua.
Harapan damai di bumi Papua hanya dapat terjadi jika persoalan di atas segera mendapat perhatian khusus dan sungguh-sungguh dari pemerintah pusat. Keadaan ini mendesak, karena Rakyat Papua sudah tidak ingin diri mereka dan tanah mereka dijadikan objek semata. Sejak integrasi papua hingga awal 2012 ini, sekali lagi, negara belum menjadikan Rakyat Papua sebagai penentu nasib mereka sendiri, hal ini terlihat jelas dengan kebijakan Otsus yang sudah berjalan 10 tahun tapi belum membawa perubahan berarti bagi kehidupan rakyat Papua. Otsus ibarat pemerintah mengirim hamburger lalu orang Papua dipaksakan untuk meninggalkan keladi bakar yang selama ini merupakan makanan pokok. Sampai sekarang petani tradisional terlantar di pinggir jalan tanpa tersedia pasar bagi mereka, sedangkan supermarket megah kian bertambah, yang tentunya bukan kebutuhan orang Papua.
Apakah dengan keadaan yang saat ini terjadi di Papua, pemerintah harus dipaksa dahulu untuk dapat benar-benar bertindak menyelesaikan konflik yang berlarut-larut di negeri ujung timur Indonesia ini ? Ataukah kubu istana negara punya tujuan terselubung sehingga membiarkan konflik Papua kian membara ? Jika pemerintah serius menuntaskan masalah Papua, kami “Rakyat Papua” menagih komitmen penyelesaian masalah papua melalaui meja perundingan agar dapat duduk bersama membicarakan persoalan Papua yang telah diurai di atas. Rakyat Papua hanya ingin diakui sebagai manusia bermartabat di atas negeri sendiri, tanpa ada intimidasi maupun kekerasan, eksploitasi dan penjarahan atau apapun bentuk penjajahan politik,ekonomi dan budaya.
Mari membuktikan bahwa perjuangan pahlawan pendahulu kita merebut Papua tidak hanya sebatas semangat nasionalisme di masa lalu saja, sementara di saat sekarang jerih payah para pahlawan seolah-olah terkubur oleh lemahnya tindakan penguasa menuntaskan sebuah masalah anak bangsa. Papua merupakan ikon Indonesia dimasa akan datang, maka itu janganlah di sia-siakan persoalannya. Semoga tahun 2012 ini ada kedamaian di bumi Papua.
***
@Westapua-arki
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.