Dibaca :

Kamis, 23 Februari 2012

Otsus Gagal! Referendum Sensasional, Mari Keluarkan Freeport Dari Tanah Papua

Oleh: Arkilaus Baho
Pada 8 Juli 2010 pukul 14:32

Pasar bebas dan perdagangan dunia yang serba canggih, tak mampu mempercanggih dinamika demokrasi dan kemanusiaan di negara-negara berkembang. Ladang globalisasi memusatkan akumulasinya pada sejumlah eksploitasi dan rekayasa atas nama kemamuran dan kesejahteraan. Untuk menggapai hegemoni ekspansionisme imperialisme ini, negara hanyalah moncong celeng babi yang terus kenyang dalam pemenuhan kepentingan pasar. Tanah papua bagian barat, satu wilayah yang nyatanya menjadi tumpuan arus globalisasi di negara-negara berkembang. Papua begitu parah nasibnya, sejalan dengan kian meningkatnya akumulasi modal di Tanah ini.

Farian gula-gula pasar bebas dalam bingkai otonomi daerah sudah terbukti gagal. Fakta, rakyat Papua mengembalikan UU No.21/2001 kepada pemerintahan Jakarta. Bicara Otonomi Daerah memang harus mewajibkan jiwa kebebasan. Adanya kebesaran patriot negara untuk melimpahkan apa yang menjadi hak wilayah-wilayah otonom. 

Protes terhadap ketidakberesan Otsus selama ini tidak saja dari gerakan rakyat Papua, namun para pejabat otonom pun mengeluh. Desentralisasi adalah pembagian wewenang, dimana urusan daerah dijalankan oleh pemerintahan daerah, sedangkan urusan pusat dijalankan oleh dinas-dinas vertikal yang ada di wilayah tersebut. Papua nyatanya tidak sejalan dengan prinsip desentralisasi. Urusan otonomi walaupun telah diberikan kepada pemerintahan daerah masing-masing, namun prakteknya, Jakarta masih monopoli kerja-kerja pejabat daerah otonom.

Penolakan terhadap rekomendasi Majelis Rakyat Papua " MRP " adalah bukti nyata, era otsus masih berlaku otoriterisasi birokrasi. Kewenangan MRP yang terus di tekan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Politik hukum dan keamanan, bikin lembaga ini tidak berdaya dan tidak juga diberdayakan sesuai mekanismenya mengawal desentralisasi. 

Orang Papua bingung disegala arah dan solusi. Mau solusi apa lagi sedangkan Otsus yang dianggap sebagai solusi sudah dikembalikan ribuan orang Papua dalam penyampaian terbuka melalui demonstrasi. Bahkan, sejak penolakan ini, membias pada ketidakseriusan rakyat mendukung kebijakan pemerintahan Otsus di Papua.

Ribuan warga Jayapura yang tergabung dalam berbagai unsur ormas maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM), turun ke jalan menuntut kemerdekaan. Mereka kecewa karena SK Majelis Rakyat Papua (MRP) No.14/2009, ditolak pemerintah. Ribuan warga berkumpul di depan Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP), Jumat (18/6/2010). 

Mereka kemudian bergerak dan melakukan orasi di Kantor DPRD Papua. Para pengunjuk rasa itu mengaku kecewa terhadap pemerintah karena menolak pemberlakuan SK 14 Tahun 2009. SK tersebut menuntut seluruh calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah tingkat kabupaten/kota se-Papua, harus orang asli Papua. Massa juga akan menyatakan UU Otsus Papua gagal tutup Freeport dan meminta referendum (merdeka) sebagai solusi terakhir. Tuntutan yang sama terus pica di tanggal 8 Julis 2010.

Pasca penolakan pemerintah Jakarta terkait SK MRP ini kekuatan rakyat diPapua berkonsolidasi untuk terus menyatakan bahkan meminta solusi yang terbaik bagi pemenuhan hak-hak dasar di era otsus. Namun, kadar politik Papua yang begitu jauh dari kasat mata dengan tuntutan refrendum dapat membias dan tidak konkrit. 

Refrendum menjadi isu pamungkas untuk membiaskan segala cita-cita yang hendak dilakukan bagi pemenuhan hak dasar Papua dalam bingkai otsus. Bagi saya, Refrendum hanyalah isu yang mengambang untuk membuat kabur esensi tujuan pengembalian otsus dan tutup Freeport. 

Alasanya, sampai hari demo ini, tidak ada konstitusi negara di dunia yang masuk anggota PBB yang telah menetapkan UU negaranya tentang dukungan refrendum. Maka itu, saya berani katakan bahwa, isu Refrendum sengaja di angkat dalam demonstrasi besar-bsaran ini guna menjauhkan tuntutan pokok lainya yang mestinya sejalan dengan tujuan dan apa yang di tetapkan oleh MRP.

Gaung referendum yang mencuat pada demo orang Papua akhir-akhir ini sebagai gambaran gerakan rakyat masih termoderasi dengan karakter elite yang cenderung mengedepankan budaya "GERTAK-GERTAKAN" untuk menggapai keinginanya. Majelis rakyat Papua " MRP " sengaja terlibat dalam isu refrendum untuk menggertak Jakarta agar rekomendasinya diterima oleh Pusat. 

Disatu sisi warga Papua sungguh menunjukan komitmenya untuk refrendum menuju satu negara sendiri. Kanalisasi Referendum Papua ini sangat berbahaya bagi pendidikan kesadaran politik yang bermartabt bagi dinamika pemenuhan HAM dan ruang demokrasi bagi kami orang Papua.

Papua kemudian digubah menjadi suatu budaya penyampaian aspirasi yang pragmatis, tidak dengan perjuangan pembebasan nasional. Euforia gerakan rakyat di negeri paling timur Indonesia ini digiring pada tahapan sistematik untuk menggeserkan perjuangan strategis kepada budaya tipu muslihat dominasi imperialisme yang saya sebut "Ideologi Freeport". Agen freeport yang mengakar dalam perjuangan nasib Papua kemudian berdiri terus memprovokasi orang Papua. 

Angin segar bagi Freeport jika negara Papua nantinya adalah perjuangan mereka. Freeport tak pernah segan-segan memberi dana kepada TNI/POLRI maupun pejuang Papua merdeka. Dengan tujuan, aset Amerika tetap aman-aman saja. Aktor kapitalisme Freeport sering muncul juga. Ingat kedekatan Eni. F, senator AS yang teriak Papua Merdeka di Parlemen AS. Ia bungkam seketika Jakarta memberi hadiah Pulau Biak untuk pembangunan pangkalan Militer AS. Sejarah yang sama, ketika Papua dalam penentuan statusnya, Amerika meredam Belanda untuk menyerahkan Papua kedalam NKRI dengan tujuan Freeport sudah ada jaminan masuk ke Papua melalui Indonesia.

Sudahlah, itu luka batin kami. Apalah artinya mengorek masa lalu?. Nah, luka tersebut harus disembuhkan, bila perlu dicegah agar tidak ada lagi luka-luka baru. Kenyataanya, Indonesia memberi peluang untuk membuka luka baru di Tanah Papua. Kepedihan yang tertahankan, kesengsaraan yang tiada akhir, Freeport berdiri diatas Tanah tetapi korban gempa di Serui dan Biak satu Kelompok keluarga ( KK ) makan supermi satu bungkus dengan berbagi hingga seminggu lamanya. Luka itu tetap muncul yang baru. SK 14 MRP ditolak Jakarta. Belum lagi Militer Indonesia yang dikendalikan dari jakarta ( urusan militer bukan wewenang otsus ) tetapi dana keamanan dan operasi disedot dari dana otsus.

Maka saatnya, kejenuhan ini membara, kami gelisah bersama anda " Hai petinggi indonesia", dengarkanlan suara kami, kembalikan hak politik kami untuk menjadi tuan dinegeri sendiri, kembalikan Freeport kepada kami untuk kami kelola emas dan tembaga kami sendiri. Kami sudah berjuang, kami sudah sampaikan, kami tidak ingin ada orang ditembak dan berdarah-darah hanya karena kami menyatakan hak kami. Mari berani memberi kami ruang yang baik dalam ruang ekonomi dan ruang politik sesuai apa yang kami kehendaki. AMPUTASI FREEPORT SEKARANG JUGA!.DAMN FREEPORT
@Westapua-arki

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.