Oleh: Arkilaus Baho
Pada 22 Desember 2010 pukul 0:55
Selebaran Aksi Demo Liga Perjuangan Nasional Rakyat Papua Barat ( LPNR-PB ) pada 21 Desember 2010 di Yogyakarta. Demo dimulai pada jam 11 siang, longmarc dari Asrama Papua Kamasan I menuju titik nol KM kantor Pos Yogyakarta. Parade ini membawa spanduk sepanjang 300 meter lebih. Bertuliskan; Tutup PT.Freeport dan Tambang Asing Lainya di Bumi Pertiwi Indonesia. Tinjau Ulang UU N0.4 tahun 2009 demi kesejahteraan Papua Khususnya dan Indonesia Umumnya.
Kontrak Karya yang melibatkan pemerintah Indonesia dan Freeport McMoRan ditenggarai sangat merugikan kepentingan negara. Potensi kerugian disebabkan oleh rendahnya royalti yang hanya 1% - 3,5% serta berbagai pelanggaran hak adat masyarakat sekitar maupun pencemaran lingkungan. Sejak beroperasi di tahun 1967, Freeport McMoRan berhasil menjadi perusahaan pertambangan kelas dunia dengan mengandalkan hasil produksi dari wilayah Indonesia.
Ada produk ikutan yang bisa dijual. Antara lain belerang. Namun atas potensi penerimaan ini, Negara tidak mendapatkan apa-apa karena tidak diatur dalam Kontrak Karya. Penjualan produk ikutan tersebut mutlak menjadi hak PTFI. Hal ini sudah disinggung dalam laporan audit BPK mengenai pengelolaan PNBP atas pelaksanaan KK di Freeport tahun 2004-2005.
Kritik utama atas KK Freeport adalah kecilnya royalty yang diterima oleh Indonesia. Untuk tembaga, royalty sebesar 1,5% dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% dari harga jual (jika harga US$ 1.1/pound). Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1% dari harga jual. Dalam Laporan Keuangan 2009, Freeport McMoRan melaporkan cadangan tembaga sebesar 104.2 Milyar pound (sekitar 47.2 Milyar kg) dan cadangan emas sebesar 37 juta ounces (sekitar 1 juta kg).
Selain itu, KK pertama Freeport mendapatkan kritik karena bertentangan dengan UU No 5/1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Dalam UU tersebut, Negara mengakui hak adat sedangkan KK I Freeport, memberikan konsesi yang terletak di atas tanah adat. Bahkan dalam satu klausul KK nya, Freeport diperkenankan untuk memindahkan penduduk yang berada dalam area KK nya.
Berdasarkan data yang ada di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP 2009), pemerintah mencatat PTFI membukukan penjualan sebesar Rp 55,5 Triliun (2009) dan menghasilkan laba setelah sebesar Rp 24,8 T. Per September 2010, PTFI mencatat penjualan (Rp 41 Triliun) dan laba kotor (23 Triliun) sebagai berikut. Total potensi penerimaan mencapai Rp 1,500 Triliun dengan kurs Rp 9.000/US$.
Berdasarkan laporan keuangan Freport McMoran 2009, total royalty (royalty KK dan additional royalty) sebesar US$ 147 juta (2009), US$ 113 juta (2008) dan US$ 133 juta (2007). Dalam Laporan Keuangan 2009, Freeport McMoRan melaporkan penjualan tembaga sebesar 4,1 Milyar pound (sekitar 1.8 Milyar kg) dan penjualan emas sebesar 2.6 juta ounces (sekitar 74 ribu kg). Penjualan dari Freeport Indonesia, mencapai hamper 39% dari keseluruhan penjualan dalam US$. Dari penjualan tersebut, tambang di Papua menyumbangkan sekitar 34% untuk tembaga dan 96% untuk penjualan emas. Dengan hasil ini, PTFI merupakan “primadona bagi Freeport McMoRan dan bukan untuk rakyat Papua khususnya dan Indonesia umumnya.
Jelas, Freeport McMoRan adalah perusahaan raksasa yang sangat menguntungkan. Total aset Freeport McMoran per Desember 2009 sebesar US$ 25 Milyar (atau Rp 225 Triliun, hampir 1/4 APBN kita). Jadi, tambang di Papua (Grassberg) sangat-sangat menguntungkan Freeport McMoRan. Sudah cadangannya paling besar, ada kandungan emas (yang nilainya sangat besar) ditambah lagi unit cost nya yang paling rendah.
Mengingat kontrak Freeport akan berakhir pada 2021 dengan opsi perpanjangan 2 kali masing-masing 10 tahun, maka Indonesia tidak akan mendapatkan sisa-sisa tembaga dan emas apabila kontrak tersebut diperpanjang sampai dengan 2041 (dengan catatan tidak ada penemuan cadangan baru).
Fakta-fakta diatas nyaris sekali dengan keadan rakyat Papua yang jauh tertinggal dalam aspek peningkatan ekonomi. Data BPS tahun 2010 menyebutkan Provinsi Papua Barat Termiskin ke satu dan Papua Termiskin ke dua di Indonesia.
Ironis lagi, hasil Freeport Papua tahun 2009-2010 capai Rp 1,500 Triliun dengan kurs Rp 9.000/US$. Bandingkan dengan total dana otsus Papua triwulan 2003-2009 senilai kurang lebih Rp. 30 trilyun lebih saja. Begitu juga total utang luar negeri Pemerintah Indonesia sekarang senilai 1.800 trilyun.
Dengan demikian, konteks penyelesaian masalah bangsa, khususnya Papua harus menyelesaikan masalah Freeport. PT. Freeport dan tambang asing lainya harus kita usir demi menyelamatkan asset kekayaan rakyat. Cara yang bermartabat ialah mengembalikan UU penjamin aset Freeport dan perusahaan asing di bumi pertiwi Indonesia dan harus di tinjau kembali.
@Westapua-arki
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.