Dibaca :

Kamis, 23 Februari 2012

Soal Freeport Belajarlah dari Venezuela


Freeport Milik Siapa Kah? by Mambruk art
Oleh: Arkilaus Baho


Upaya pembicaraan ulang kontrak PT. Freeport dan sejumlah perusahaan asing lainnya kini sudah nyata. Pemerintah sudah mengupayakan paling tidak ada enam hal yang perlu di atur ulang. Diantaranya mencakup luas wilayah, penerimaan negara, divestasi, jasa, pengolahan sekaligus pemurnian dalam negeri serta royalti.

Total semuanya, pemerintah menempuh nilai pembayaran pajak dari 1 persen ke 3 persen. Cara tersebut menunjukkan bahwa negara ini terlalu jauh dari apa yang di praktikkan oleh Hugo Chaves di Venezuela. Mestinya niat pemerintah hari ini justru ada peluang yang patut di pelajari, yaitu bagaimana Chaves mampu menasionalisasi perusahaan asing.

Di Indonesia ini sudah ada metode penyelesaian pembagian hasil. Britis Petroleum di Bintuni di patok pemasukannya 10 persen ke negara. Kemudian moratorium yang berlaku bagi blok cepu. Terakhir adalah program divestasi yang di jalankan oleh pemda setempat kepada newmont. Pemerintah Papua pun juga mengikut metode divestasi yang sama terhadap freeport.

Indonesia punya aset investasi yang besar, yaitu tanah. Kok, perusahaan yang hanya punya teknologi dan modal bisa mampu menguasai seluruh hasil pertambangan?. Cara itu sudah kuno. Pemerintah dari daerah hingga pusat masih dangkal bahkan cenderung takut mengambil tindakan ambil alih seluruh aset asing di Indonesia. Hugo Chaves dia usir semua perusahaan asing, lalu tiap tahun dia ganti rugi biaya dan kerugian mereka ( perusahaan ). Pemerintah setempat yang kelola perusahaan tersebut. Seharusnya begitu, negara sebagai pemilik yang kelola lalu bagikan kepada pemilik teknologi maupun pemilik modal.

Bahkan cara yang sekarang di pakai oleh venezuela pun sudah dilakukan lebih awal oleh Indonesia dibawah kepemimpinan Alm. Sukarno. Mengapa rezim sekarang tidak mengikuti jejak pendahulunya?. Entah menaikkan posi bagi hasil pun tetap sama saja, negara setia menunggu bagi hasil dari perusahaan. Iya, tahun lalu ( 2011 ) saja, pemasukan freeport kepada negara Indonesia senilai 3,4 triltun dari total penghasilan freeport per-jam 12 juta dolla Amerika.

Eh, divestasi yang hendak dilakukan pemerintah sama saja bohong besar. Kenapa? karena sejumlah usaha asing di Indonesia mereka punya utang di bank swasta. Sudah utang, trus utangnya di bank asing lagi. Jadi, kalau pemerintah daerah hendak ambil saham sebagian dari perusahaan ( misal-freeport ), pemda setempat harus wajib bayar utang perusahaan di bank. Itu syarat pokok bila terjadi kesepakatan tentang divestasi.

Tanah di Indonesia di kuasasi oleh negara, nyatanya tanah di Papua ( Timika ), tanah di kuasasi freeport, lalu negara hanya memberi ijin saja. Seharusnya pemerintah meniadakan sejumlah pajak tanah, pajak royalti, pajak segalanya. Dengan syarat, Indonesia yang kelola pertambangan, lalu hitung berapa biaya teknologi yang harus di bayar kepada freeport/AS. Berapa biaya pemodal yang masuk di freeport itu saja yang di ganti pemerintah. Stop jadi negara lonte yang jual diri dengan murah meriah.

Beda pengaturan pertambangan dengan bisnis pisang goreng yang mengedepankan kreatifitas pengolahannya. Soal pertambangan sudah jelas pengaturannya. Pemodal, pemilik teknologi dan pemilik tanah, mereka ini harus duduk lalu yang punya tanah yang pimpin. Di Indonesia, pemilik tanah justru menjadi penonton, lalu tiap tahun hanya datang tagih untuk dapat bagian.

Seketika bertemu dengan Prof. Amien Rais di kediamannya di Jakarta tahun 2006 silam, di hadapan sejumlah pimpinan gerakan rakyat waktu itu, saya beritahu kepada pak Amin bahwa kalau pemerintah takut atasi freeport, sudahlah lepaskan saja Papua jadi negara sendiri biar kami orang Papua sendiri yang atur freeport. Pak Amin diam dan tidak membalas penyampaian saya.

Tak hanya di telinga Amien Rais, sewaktu bertemu dengan utusan khusus presiden untuk Papua, Dr. Farid Husain pun saya sampaikan masalah freeport juga. Saya katakan " pelanggaran HAM atau kasus sosial yang muncul di Timika maupun Papua seluruhnya akibat kehadiran freeport. Pelanggaran HAM terjadi karena pemodalnya freeport. Yang bayar militer kan freeport, lalu tentara jaga freeport dan nembak rakyat, jadilah pelanggaran HAM. 

Negara tukang pemalak itulah watak yang melekat pada pengaturan pertambangan selama ini. Harus berubah. Sukarno dengan Hugo Chaves sudah bikin contoh yang cukup bermutu, kenapa pemerintah tidak belajar dari mereka atau sekarang Venezuela sudah nyata. Takut sampe….
@Westapua-arki

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.