Oleh: Arkilaus Baho
Pada 26 Agustus 2010 pukul 23:08
Pasar bebas era abad 21 memang sebebasnya orang atau lembaga menjalankan ketentuan Negara untuk menjebak rakyat sendiri. Bayangkan, Badan Pusat Stastistik 2010 menggunakan logika pendapatan dan pengeluaran perkapita sebagai acuan pengelompokan derajad orang miskin. Saya membantah logika semacam ini. Sebab di pedalaman Papua saja, sebagian penduduk local tidak tahu atau tidak berada pada ruang hidup ketergantungan pasar. Bagaimana orang mau keluarkan uang untuk beli barang sedangkan toko, pasar dan sejumlah prasarana saja tidak ada.
Kehidupan nomaden masih berlaku di sebagian wilayah terisolir di Papua. Agenda pasar di Papua hanya berada pada titik dan pusat konsentrasi modal. Dengan demikian, pandangan perkapita tidak pantas dijadikan acuan. Maka itu, BPS jangan berkarya bagi pemenuhan pasar. Ada dugaan, perhitungan standar Negara semacam ini hanyalah bagian dari politik infiltrasi kapitalisme untuk terus meluaskan pasar capital di Tanah Papua. Agen-agen neoliberal semacam BPS adalah salah satu suprastruktur Negara yang dianggap berhasil berkarya.
Hasil Sensus Nasional terbaru tahun 2010 Badan Pusat Statistik telah merekam data perkembangan terbaru mengenai angka kemiskinan di Indonesia. Hasil sensus itu juga memetakan wilayah yang masih menghadapi persoalan kemiskinan yang cukup parah. "Kemiskinan adalah salah satu masalah mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah negara manapun, karena salah satu tugas pemerintah adalah menyejahterakan masyarakat," ujar Kepala BPS Rusman Heriawan dalam penjelasan hasil Sensus Nasional yang dirilis baru-baru ini, berbarengan dengan ulang tahun RI ke-65.
Rusman mengakui jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 memang telah berkurang 1,51 juta orang menjadi 31,02 juta orang (13,33 persen) dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang. Namun, angka kemiskinan itu terbilang tinggi. Menurut BPS yang dimaksud dengan penduduk miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Angka garis kemiskinan pada Maret 2010 adalah Rp211.726,- per kapita per bulan.
Seharusnya BPS memandang corak social rakyat Papua yang masih nomaden di era pasar bebas ini sebagai acuan dalam menulis criteria kemiskinan. Bagaimana orang Papua punya uang untuk beli barang di pertokoan untuk mempertahankan hidup, sedangkan daerah-daerah di pedalaman Papua belum ada ketergantungan pada pasar. Rakyat Papua masih dimanjakan hasil hutan.
Apakah suku korowai di pedalaman Papua yang mengenal apakah Negara Indonesia ini ada, mereka diklaim sebagai penduduk yang tidak punya kapita penghasilan atau pengeluaran?, Ini mengerikan sekali. Konsep sensus penduduk dan tingkatan kelas ekonomi rakyat sama sekali tidak bisa disamakan dengan kultur hidup rakyat Papua saat ini. Memang konsentrasi neoliberalisme menaruh ketergantungan besar rakyat kepada spectrum ekonomi kapitalisme.
Tetapi, sesungguhnya, apa yang dikaji BPS di Papua terkait pendapatan sebagai ukuran miskin ini kekeliruan besar. Memang, fakta bahwa rakyat tidak punya kepemilikan asset karena dijarah oleh kapiun internasional ini benar.
Ketersediaan data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran, menurut Rusman, sangat penting digunakan untuk mengevaluasi kebijakan strategis pemerintah terhadap kemiskinan. Ini juga penting untuk membandingkan kemiskinan antarwaktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi mereka.
Jika membandingkan antar daerah, BPS mencatat sejumlah wilayah masih menghadapi persoalan kemiskinan yang tinggi. Bahkan, angka kemiskinan yang tertinggi itu justru terjadi di wilayah dengan kekayaan sumber alam melimpah, seperti Papua dan Papua Barat. Prosentase angka kemiskinannya mencapai 34-36 persen, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar 13,33 persen.
Tidak saja Papua, tetapi pola mendiskreditkan rakyat miskin tidak dapat dibenarkan bila logika miskin dapat diterapkan dengan karakter pasar dan ketergantungan pada pasar. Selain Papua, propinsi lain yang memiliki prosentase penduduk miskin tinggi adalah Maluku, Nusa Tenggara, Aceh, Bangka Belitung dan lainnya. Jumlah penduduk di propinsi-propinsi tersebut yang memang tidak sebanyak di Jawa, tetapi secara prosentase dibandingkan total penduduk di wilayah tersebut, kelompok orang miskinnya sangat tinggi.
Tanah Papua - Pulau surga
Keberhasilan penjajah menjajaki Tanah Papua yang kaya raya ini menyambut paradigm baru berbagai kalangan dalam memandang Papua. Sebagian kalangan menolok Papua dari kacamata pasar bebas yang telah merasupi suprastruktur kebijakan Negara. BPS adalah lembaga yang terjebak dalam logika kategori miskin versi pasar.
Tanah perawan yang tersentuh bahkan tidak terurai dari jarahan kolonialisme ini masih ada di dunia. Perdaban kultur alamiah terus di jarah dan dirampok seiring dengan laju imperialism. Indonesia sebagai agen mematikan yang akan mengubur mati semua entitas kultur Papua. Ya, corak BPS pakai pendapatan perkapita dan pengeluaran inilah bukti pembunuhan dahsyat suatu statistika.
Wajar saja, bila bumi Papua yang kaya dibilang misin, itu artinya temperature pembangunan di Papua dan pola pengembangan rakyat Papua terus dibenturkan dengan dinamika liberalisasi pasar. Dimana sebelumnya Papua itu misteri sekali bagi berbagai kalangan yang hendak menginjakan kakinya di Tanah Surga.
Seperti inilah yang di muat dalam blogger unic77 bahwa Papua adalah pulau terbesar kedua di dunia. Pada sekitar Tahun 200 M , ahli Geography bernama Ptolamy menyebutnya dengan nama LABADIOS. Pada akhir tahun 500 M, pengarang Tiongkok bernama Ghau Yu Kua memberi nama TUNGKI, dan pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama JANGGI.
Tidore memberi nama untuk pulau ini dan penduduknya sebagai PAPA-UA yang sudah berubah dalam sebutan menjadi PAPUA. Pada tahun 1545, Inigo Ortiz de Retes memberi nama NUEVA GUINEE dan ada pelaut lain yang memberi nama ISLA DEL ORO yang artinya Pulau Emas.
Robin Osborne dalam bukunya, Indonesias Secret War: The Guerilla Struggle in Irian Jaya (1985), menjuluki provinsi paling timur Indonesia ini sebagai surga yang hilang. Tidak diketahui apakah pada peradaban kuno sebelum masehi di Papua telah terdapat kerajaan. Bisa jadi zaman dahulu telah terdapat peradaban maju di Papua.
Pada sebuah konferensi tentang lampu jalan dan lalulintas tahun 1963 di Pretoria (Afrika Selatan), C.S. Downey mengemukakan tentang sebuah pemukiman terisolir di tengah hutan lebat Pegunungan Wilhelmina (Peg.Trikora) di Bagian Barat New Guinea (Papua) yang memiliki sistem penerangan maju. Para pedagang yang dengan susah payah berhasil menembus masuk ke pemukiman ini menceritakan kengeriannya pada cahaya penerangan yang sangat terang benderang dari beberapa bulan yang ada di atas tiang-tiang di sana.
Bola-bola lampu tersebut tampak secara aneh bersinar setelah matahari mulai terbenam dan terus menyala sepanjang malam setiap hari. Kita tidak tahu akan kebenaran kisah ini tapi jika benar itu merupakan hal yang luar biasa dan harus terus diselidiki. Papua telah dikenal akan kekayaan alamnya sejak dulu. Pada abad ke-18 Masehi, para penguasa dari kerajaan Sriwijaya, mengirimkan persembahan kepada kerajaan China. Di dalam persembahan itu terdapat beberapa ekor burung Cendrawasih, yang dipercaya sebagai burung dari taman surga yang merupakan hewan asli dari Papua.
Dengan armadanya yang kuat Sriwijaya mengunjungi Maluku dan Papua untuk memperdagangkan rempah – rempah, wangi – wangian, mutiara dan bulu burung Cenderawasih. Pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sudah termasuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Pada abad XVI Pantai Utara sampai Barat daerah Kepala Burung sampai Namatota ( Kab.Fak-fak ) disebelah Selatan, serta pulau – pulau disekitarnya menjadi daerah kekuasaan Sultan Tidore.
Tanah Papua sangat kaya. Tembaga dan Emas merupakan sumber daya alam yang sangat berlimpah yang terdapat di Papua. Papua terkenal dengan produksi emasnya yang terbesar di dunia dan berbagai tambang dan kekayaan alam yang begitu berlimpah. Papua juga disebut-sebut sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi.
Papua merupakan surga keanekaragaman hayati yang tersisa di bumi saat ini. Pada tahun 2006 diberitakan suatu tim survei yang terdiri dari penjelajah Amerika, Indonesia dan Australia mengadakan peninjauan di sebagian daerah pegunungan Foja Propinsi Papua Indonesia. Di sana mereka menemukan suatu tempat ajaib yang mereka namakan "dunia yang hilang",dan "Taman Firdaus di bumi", dengan menyaksikan puluhan jenis burung, kupu-kupu, katak dan tumbuhan yang belum pernah tercatat dalam sejarah.
Mari memandang Papua dengan terminology sosialisme agar tidak saja menyatakan kekeliruan dalam memandang Papua. Kedepan, aspek sosio-kultur harus dijadikan landasan bagi sejumlah praktek pengambilan data terutama menyangkut aspek ekonomi rakyat Papua. Masih banyak warga Papua tidak mengenal uang rupiah, masih banyak penduduk Papua belum tahu apa itu merah putih, apa itu bintang kejora, apa itu Negara.
Yang mereka pahami adalah apa yang mereka lakukan. Klasifikasi kemiskinan Papua dan Papua Barat oleh BPS suatu kekeliruan. BPS harus banyak belajar tentang Papua. Jangan Pandang Papua dari logika Freeport semata. Tapi pandanglah Papua dari realitas Papua itu sendiri. Ratusan ribu anggota dari tiga suku di Papua yang belum mengenal peradaban itu bukan dijadikan lebel miskin, tetapi akibat ketidakwajaran pengetahuan saja dalam memandang Papua.
@Westapua-arki
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.