Oleh: Arkilaus Baho
Pada 3 Maret 2011 pukul 17:12
Kembali terjadi penikaman terhadap wartawan vivanews " Banjir Ambarita" di Jayapura Papua, 2 Maret 2011. Tragedi penganiayaan hingga penghilangan nyawa terjadi berulang kali dan seakan menghantui kerja jurnalis di Papua. Keprihatinan yang mendalam patut dilakukan terhadap insan pers dunia, khususnya insan pers di Bumi Papua. Kegagalan aparat kepolisian membongkar berbagai kekerasan terhadap jurnalis "Papua" seakan negara membiarkan terjadi pembungkaman. Praktek pembungkaman bertentangan dengan jiwa dan roh orang Papua yang damai dan dialogis. Tragis lagi, riwayat nasib para jurnalis merupakan pola kekerasan yang kian meningkat dan dialami pejuang kebebasan informasi di Tanah Papua. Harus dihentikan.
Rentetan kasus per-kasus kekerasan di Papua sudah menjadi makanan sehari-hari yang tiap saat saja terjadi tanpa pemulihan menyeluruh, baik dari aspek jera hukum maupun perubahan watak orang-orang yang anti kebebasan pers. Sandiwara pembungkaman patut di lawan dalam era demokrasi sekarang. Satu cara membungkam polemik orang Papua dengan mengancam wartawan merupakan suatu tindakan yang tidak bisa di terima. Kita tahu, bagimana kepolisian di Papua tidak mampu membongkar bahkan menangkap pelaku di balik pembunuhan wartawan merauke tv" Adriansyah Matrais", yang diduga mengalami nasib naas setelah membuka tabir bisnis gelap yang juga suatu persengkokolan antara pemodal dan pemerintah daerah setempat. Upaya pembukaan suatu kasus di Papua berujung pada upaya tutup mulut oleh pihak-pihak tertentu, demi kejayaan suatu praktik kotor di Tanah suci Cenderawasih.
Ada tiga komponen yang sering melakukan ancaman bagi karya pers di Bumi Papua. Pertama, Kegagalan Polisi dalam mengungkap pelaku kekerasan terhadap pers, dapat di sinyalir bahwa aparat polisi merupakan pihak yang patut diduga berada di balik praktek kekerasan terhadap sejumlah wartawan di Papua. Polisi juga kita kenal sebagai anjing penjaga modal "what's dog", maka tidak bisa dipungkiri aparat polisi berada dibalik upaya teror yang permanen. Kedua, Kelompok Modal.
Kasus tragis yang dialami sejumlah wartawan di areal Freeport tahun 2007 silam, mereka di tuding sebagai pencuri oleh sang jenderal yang komandan security Freeport kala itu. Toh, tidak ada perlindungan negara terhadap ancaman modal bagi kalangan pers. Fakta Sampai sekarangpun, insan pers di Timika seakan seperti harimau bagi PT. Freeport. Padahal, kita tahu Freeport merupakan perusahaan tambang terbuka yang tidak mengenal pelarangan apapun. Kelompok modal dikenal dengan karakter tangan tak kelihatan, para investor siap memberikan jaminan harta yang menggiurkan kepada instansi atau pribadi yang mampu mengeksekusi tiap penghalang bagi tujuan investasi dimaksud.
Misalnya saja, Freeport didukung Instasi negara Indonesia untuk berhak memindahkan penduduk setempat demi usahanya. Komponen ketiga merupakan kaum reaksioner yang tidak memahami arti pentingnya kehadiran media dalam suatu upaya mengangkat berbagai kasus. Robert Vanwi, wartawan media cetak Suara Pembaruan menjadi korban kekerasan kelompok ini. Kameranya pun rusak. Kelompok tersebut punya jiwa mencurigai yang kuat, maka kadang menutup pintu bagi kebebasan pers di Papua.
Praktek kekerasan demi membungkam suara-suara kebebasan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Alat-alat pro kebebasan harus bergigi. Para pemerhati demokrasi dan masyarakat sipil punya tanggungjawab moral bersama. Penting sekali bagi perlindungan, proteksi dan membuka ruang-ruang kemerdekaan di Papua. Jangan karena Papua wilayah merah sehingga segalanya dibungkam demi keamanan dan pertahanan negara. Ini pola berpikir yang sempit. Begitu juga, rakyat Papua belajar dan berjuang untuk bebas tidak kemudian menutup mata sebelah terhadap perjuangan kebebasan di lini perubahan yang lain. Sebab semuanya saling berhubungan satu sama lain demi kejayaan bersama. Negara juga harus mampu memfungsikan entitas demokrasi di tiap instansi agar memenuhi warganya dari rasa aman.
Penikaman Terhadap Wartawan Vivanews Di Papua Demi Mengalihkan Isu
Jangan lagi darah dan air mata menetes di Bumi Papua. Cara-cara tak bermartabat yang terjadi di wilayah lainya di Indonesia jangan kemudian menjadikan Papua sebagai pusat pengalihan isu sistematis saja. Iya, pengalihan isu dengan penikaman seorang kawan pers, jangan lagi ada rentetan pengalihan. Kami sudah bosa dan muak dengan karakter pengalihan isu yang sering dicanangkan dan dilakukan selama Freeport berperasi. Budaya mengorbankan nyawa dan dan hak hidup masyarakat demi keagungan Freeport tidak merembet dalam tradisi kebijakan negara.
Derita pers di Papua menjadi keprihatinan kami, sebagai anak Papua, kaum pro perubahan tidak sependapat dengan rangkaian kekerasan yang terjadi dan terus menerus dibiarkan oleh negara. Ribuan warga Papua jangan dibuat rasa tidak aman, wartawan sebagai corong demokrasi orang Papua harus ditempatkan pada alam kebebasan pers yang sebenarnya.
Bahwa kewajiban pers memberitakan sesuatu yang menjadi ranah publik tidak bisa dihalang-halangi dengan cara apapun. Kita tahun, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memang penuh citra, sama dengan kelakuan Freeport yang terus bercitra dengan kesejahteraan penduduk setempat. Mari hentikan, siapapun pelakunya, dia pejabat publik atau pribadi yang berprofesi sebagai preman bayaran harus dihukum.
Dan tragedi penikaman terhadap wartawan vivanews merupakan rentetan intimidasi negara yang nyata terhadap kebebasan pers. Ya, tak lama setelah desas desus kasus Sekertaris Kabinet" Dipo Alam" memboikot dua tv dan satu media cetak, pembungkaman pun terjadi di Papua. Ada apa ini?, kok negara berdaulat sukanya pengalihan isu saja, bukanya mengatasi suatu protes atau masalah dengan kepala dingin dan bertanggungjawab...
@Westapua-arki
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.