Dibaca :

Rabu, 22 Februari 2012

Gurita Pembangunan Indonesia " Mengenang Alm. Agus Alua"


Karangan Bunga Di Kediaman Alm. Agus Alua
Oleh: Arkilaus Baho
Pada 8 April 2011 pukul 23:38

Mantan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Agus Alue Alua, meninggal dunia di Rumah Sakit Dian Harapan Waena, Kota Jayapura, Kamis (7/4) sekitar pukul 15.15 WIT. Almarhum sebelum dibawa ke UGD RS Dian Harapan, dikabarkan kena stroke dan terajtuh di lantai. Napas panjang dan kelelahan akibat gejolak antara Pemerintah Pusat ( DEPDAGRI ) dengan MRP lama menjadi sumbu yang berujung pada berhentinya jatung secara tiba-tiba. Nahkoda MRP yang selama menjalankan tugasnya dikenal sebagai sosok yang getol memperjuangkan harga diri dan martabat orang asli Papua kemudian dilarikan ke unit gawat darurat rumah sakit itu jiwanya tak tertolong. Pihak RS Dian Harapan sendiri belum memberikan keterangan perihal meninggalnya almarhum.

Tidak jelas pelaksanaan reorganisasi anggota MRP yang dijalankan oleh pemerintah semakin membingungkan. Apalagi tenggang perpanjangan telah berakhir 31 Januari 2010 silam Uneg-uneg pun muncul dari berbagai kalangan, termasuk anggota lama MRP.

Salah satu situs yang juga menjadi sumber informasi dari kepolisian, menulis curhatan sang anggota terkait ketidak jelasaan reorganiasi dimaksud. Kami tidak tahu kapan kami bisa berakhir sementara 31 januari sudah berhenti hingga pelantikan anggota baru, bagaimana nasib kami anggota lama”,ungkap Simunapendi. Sementara dalam PP 54 masa jabatan aggota lama akan berakhir apabila angota baru sudah dilantik, “ nah sekarang sudah tanggal 31 MRP sudah tak ada lagi , lalu bila pelantikan anggota baru dilaksanakan bagaimana nasib kami anggota lama”, kata dia.

Sumber yang dimuat dalam situs diatas mengungkapkan hal menarik, yang bagi saya penting sekali menilik problem internal dalam wadah lemabaga kultur ini. Lanjutnya demikian, Seharusnya hal ini dijelaskan Ketua MRP pada anggota MRP lama, sebab anggota MRP lama tidak menentu nasibnya saat ini, okelah bila untuk tiga unsure Pimpinan MRP mendapatkan semua sarana Operasional termasuk tunjangan perumahan dan kendaraan Dinas, mereka tenang tenang saja, sementara kami anngota MRP biasa yang tak punya operasional kendaraan, perumahan akan sangat sulit sekali bagi kami anggota lama. Setelah resmi masa berakhir tugas kami, seharusnya kami bisa dipastikan untuk kembali kedaerah masing masing. 

Pimpinan MRP ( Alm. Agus Alue Alua-penulis), hendaknya memperhatikan hal ini, juga Pemerinth Provinsi Papua, sebab kehadiran kami di MRP diutus unsur Adat untuk mengakomodir aspirasi rakyat Papua di Daerah. Diterangkannya lebih lanjut bahwa dengan kondisi Ketua MRP yang pada posisi nyaman dengan sarana oprasional, membuat dia tenang saja, sementara kami hidup tidak menentu, supaya wartawan tahu anggota MRP tidak punya operasional dan menyulitkan mereka dan perlu diseriusi, saya kesal sekali, kata dia. Dan bagaimana nasib anggota lama kapan kami dipulangkan. Menurut pengalman saya MRP ini hanya pelengkap sebab produk MRP tidak pernah dihargai Pemerintah Propisi sendiri apalagi Pemerintah Pusat.

Keberanian Alm. Agus Alue Alua dalam memperjuangkan aspirasi rakyat Papua ( orang asli Papua ) membuat pemerintah akhirnya bergeming dan tidak ada jalan lain selain meniadakan MRP jilid I dalam berbagai cara. Pemecatan dan larangan untuk mencalonkan diri dari pemerintah pun diterima almarhum sebagai imbalan politis yang harus dia terima. Rekomendasi MRP atau yang dikenal dengan keputusan MPR N0.14 tahun 2009 menjadi bola panas yang bisa saja memanaskan jantung sang nahkoda. Perdebatan pun kian panas tentang legalisasi MRP. Walaupun sudah jelas MRP diatur dalam Peratuan Pemerintah N0.54 tahun 2004. Gonjang ganjing dan tarik ulur semakin membuat frustasi berbagai pihak dalam menangani wadah pengawal otsus ini.

Aliansi Demokrasi Untuk Papua ( ALDP ) menulis riwayat polemik bola panas tersebut secara gamblang,   Tentang kekisruhan surat MRP yang kian menjadi bola panas dutilis ALDP bahwa Sebenarnya yang dimaksud adalah Keputusan (bukan SK = Surat Keputusan) sehingga penyebutan seharusnya Keputusan MRP nomor 14 Tahun 2009 karena di dalam istilah hukum SK (Surat Keputusan) dan Keputusan memiliki arti mengikat yang berbeda. Jika bunyinya adalah SK, tentu menyangkut ‘perintah’internal yang sangat terbatas akan tetapi Keputusan mengikat secara meluas. 

Ragam pendapat muncul dari kalangan eksekutif. Dutilis ALDP diantaranya salah satu staf ahli Komisi A Latifah Anum Siregar dalam pertemuan bersama MRP-DPRP mengatakan bahwa “Setiap persoalan di Papua selalu dibawa ke Jakarta. Apabila ke Jakarta tim harus sangat siap ,tidak saja konsep tapi juga sikap politik yang jelas apa yang akan ditempuh jika Jakarta menolak, jangan bawa ’cek kosong’ sebab nanti Jakarta bikin seperti yang mereka mau, dalam konteks OTSUS kita punya pengalaman, Papua mau lain Jakarta bikin lain seperti lambang daerah, 11 kursi dan jangan sampai mengenai keputusan MRP juga sama saja” ujarnya. 

Ada fenomena menarik, ketika satu isu sensitif kedaerahan diluncurkan di Papua, khususnya untuk menterjemahkan UU OTSUS selalu terjadi pertengkaran diantara orang Papua terutama diantara elit politik lokal. “Yang berkelahi orang Papua dengan orang Papua..” begitu kata rektor Uncen di pertemuan tersebut. Ketika dilakukan pertemuan maka seolah – olah akan tercapai kesepakatan akan tetapi sayangnya ‘daya tarik’ Jakarta masih begitu besar. Selalu saja disepakati jalan untuk berkonsultasi dengan Jakarta, ke Jakarta lagi. Dengan sering kali mengembalikan semua persoalan kepada cara penyelesaian Jakarta maka sebenarnya elit pemerintah lokal membuka ruang intervensi kepada Jakarta, tulis ALDP.

Rakyat Papua pun tidak tinggal diam menyambut 11 rekomendasi MRP dimaksud. Gejolak sosial pun terjadi sampai sekarang. Demonstrasi dan rapat umum kian meningkat dengan penolakan keberadaan otsus dan MRP. Orang Papua anggap otsus telah gagal. Kegagalanya sudah jelas di gagalkan oleh Negara Indonesia sendiri. Main hakim sendiri yang menjadi citra negara menjadikan nasib lembaga kultur kian tidak jelas arah dan perjuanganya. Solusi penyelesaian masalah Papua sebagai obat peredam perjuangan Papua memisahkan diri dari NKRI akhirnya tinggal tunggu waktu saja.

Persoalan Papua bagi Jakarta mudah untuk diselesaikan bahkan dikesampingkan. Namun, ada yang menarik dalam sejarah kebijakan Jakarta soal Papua. Gejolak sumber daya alam punya hitungan politis mendalam yang tidak dapat dibantahkan. Korban penistaan modal di Papua tidak saja rakyat sipil tapi juga para pejabat, jurnalis dan kaum pemerhati masalah sosial lainya menjadi tidak aman. Alm. J.P Solossa sewaktu menjabat gubernur, meninggal tidak lama setelah mengecam pembagian hasil Freeport. Kelly Kwalik dibunuh karena dianggap mengganggu Freeport. Wartawan Merauke TV dibunuh ditengah hangat-hangatnya operasi Merauke Integrate Food Energi & Estaat. Point ke-11 Majelis Rakyat Papua yang dituangkan dalam rekomendasi 11 MRP berakhir dengan non-aktif jabatan anggota MRP Jilid I secara tidak terhormat.

Alm. Agus Alue Alua adalah sosok yang punya keinginan besar untuk menyelamatkan kultur dan identitas orang Papua. Kepemimpin beliau begitu demokratis. Sampai berani pertahankan legalitas dirinya untuk memperjuangkan apa yang telah diajukan lembaganya. Komitmen yang kokoh, jiwanya yang demokratis, mau mendengar siapa saja yang berbicara, tokoh yang memberi inspirasi dan panutan bagi orang Papua. Ia telah tiada. Kepergianya tidak menuggu penyerahan mandat kepada anggota baru MRP Jilid II, kepergianya ke alam baka membawa sekerumit masalah yang membeku, fakta masalah Papua tak pernah tuntas didalam GURITA PEMBANGUNAN INDONESIA. Selamat jalan Bapak.
@Westapua-arki

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.