Dibaca :

Rabu, 30 Mei 2012

Lima Negara Desak Indonesia Berunding Dengan Papua

Oleh: Arkilaus Baho

Jerman, Kanada, Inggris, Belanda, dan Perancis mendesak Indonesia untuk menyelenggarakan suatu perundingan dengan rakyat Papua. Perundingan yang dimaksudkan tidak lain merupakan upaya yang juga telah di lakukan secara bersama. Ada pertemuan sejumlah tokoh Papua dengan presiden indonesia dengan komitmen bahwa berunding. Terkait pernyataan lima negara tersebut dalam forum resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam hal ini bahwa badan dunia telah membuka mata terkait masalah Papua. Sorotan utamanya pada pertemuan tersebut pada perjuangan HAM di Papua dan seputar penyelesaian masalah dengan jalan damai.

Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengkaji pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam pembahasan Universal Periodic Review. Dalam forum yang berlangsung sejak 23 Mei lalu di Jenewa, Swiss, ada sejumlah delegasi yang mempertanyakan mengenai indikasi pelanggaran HAM di Papua. Dari 13 negara itu, setidaknya lima negara yang menanyakan mengenai masih adanya serangkaian kekerasan di Papua. Apalagi, lima negara itu menilai pelaku pelanggaran HAM tak kunjung terungkap. 

Laporan keprihatinan masalah Papua yang beredar di media massa pun diakui oleh tokoh Papua. Adanya keprihatinan dunia internasional tersebut seperti diungkapkan Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, Socratez Sofyan Yoman melalui jaringan mereka,  baik yang ada di Jakarta maupun dari  luar  negeri. “Berita ini kami akses melalui jaringan kami yang terpercaya,”jelasnya  saat dihubungi Bintang Papua, semalam Rabu (23/5).

Menurut Tokoh Agama yang terkenal vocal ini, Sudah saatnya Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua untuk duduk berunding dan   berdialog dalam semangat kesetaraan untuk mengakhiri kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua.  “Tekanan  Internasional ini juga tidak terlepas dari kegagalan Otonomi Khusus sebagai solusi politik tentang masalah Papua. Amanat Otsus seperti perlindungan (protektion), keberpihakan (affirmative action) dan pemberdayaan (empowering) mengalami kegagalan tolal dan sebaliknya kejahatan dan kekerasan Negara semakin meningkat dan menyengsarakan penduduk asli Papua,” demikian Socratez Sofyan Yoman dalanm Pressreleasenya yang dikirim ke redaksi Bintang Papua.

http://bintangpapua.com/headline/23116-pbb-mulai-buka-mata-soal-papua

Atas desakan tersebut, Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah mengatakan bahwa sebenarnya Indonesia sudah melakukan hal-hal yang ada dalam rekomendasi itu. Misalnya dialog dengan masyarakat Papua, hal itu sudah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak lama. Faizasyah mengatakan, dalam pertemuan dengan kepala negara atau diplomat negara lain, Presiden belum pernah menerima komentar atau respon mengenai pelanggaran HAM di Papua. “Saya tidak mencatat adanya penyampaian keprihatinan (soal Papua) dari pertemuan dengan presiden selama ini,” tutur Faiza.

http://www.indonesiamedia.com/2012/05/28/dunia-kembali-sorot-pelanggaran-ham-di-papua/

Sebelumnya, Presiden pun mengatakan bahwa upaya pemerintah untuk memajukan warga Papua bukanlah omong kosong. “Inti dari kebijakan dasar kita (pemerintah) menyangkut Papua telah kita ubah, dari yang sebelumnya security approach (pendekatan keamanan) menjadi prosperity approach (pendekatan kesejahteraan). Itu bukan hanya lip service, tapi telah kita lakukan dengan anggaran besar,” kata Presiden. Selain itu, Presiden juga mengatakan ada masalah internal di Papua, namun tidak dilihat masyarakat dunia. Malahan, Presiden mengakui ada upaya separatis di Papua. “Masih ada penembakan-penembakan, elemen separatis di sana. Dunia juga harus tahu ini,” kata dia.

Forum HAM PBB tersebut juga menyoroti beberapa hal yang kemudian menjadi rekomendasi. Selain sejumlah kejadian pelanggaran HAM di Papua, kelima negara itu pun memberikan empat rekomendasi untuk Pemerintah Indonesia, yang dalam sesi itu diwakili Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Rekomendasi itu adalah:

1. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan dialog dengan perwakilan Papua;

2. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk melanjutkan reformasi sektor keamanan: TNI, Polisi dan Intelejen;

3. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk melindungi Para Pembela HAM dan Rakyat Papua dari tindak kekerasan;

4. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk melibatkan partisipasi rakyat dalam pembangunan di Papua.

Secara terperinci alasan rekomendasi tersebut, menurut aktivis Imparsial ada empat hal penyebab dunia menoroti masalah Papua. Pertama, Poengki menjelaskan, kelima negara itu kemudian merinci sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Pertama, di Papua diketahui sering terjadi penembakan terhadap warga sipil. Namun, polisi tidak pernah bisa menangkap para pelaku. “Polisi selalu gagal memburu para pelaku, meskipun ada banyak satuan keamanan yang ditempatkan di Freeport dan Puncak Jaya, antara lain aparat kepolisian, TNI dan intelejen,” lanjutnya.

Kedua, Poengki mengatakan lima negara itu menyoroti meningkatnya kekerasan pada hari-hari tertentu di Papua. Misalnya pada hari jadi Organisasi Papua Merdeka tiap 1 Desember, juga pada acara-acara khusus seperti Kongres Rakyat Papua Ke-III pada bulan Oktober 2011 dan acara West Papua National Committee seminar di bulan Agustus 2011.

Ketiga, lima negara itu juga mempertanyakan pembatasan kebebasan berekspresi di Papua. Misalnya, yang terjadi saat acara Kongres Rakyat Papua tahun lalu. aparat keamanan Indonesia membubarkan Kongres Rakyat Papua dan menangkap lebih dari 200 orang. Para pemimpin kongres ditahan dan proses pidana dengan dakwaan makar,” jelas Poengki.

Dan yang terakhir, saat ini masyarakat asli Papua kerap dicurigai dan banyak dianggap pemberontak. Ini menyebabkan banyak orang asli Papua yang masih distigma sebagai separatis. “Hal ini juga digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan, misalnya ketika pemerintah membuat satu kebijakan tentang intelejen yang mengijinkan intelejen untuk menginterogasi, menyadap, dan mengecek arus keuangan seseorang yang diduga separatis,” paparnya.

Menurut Poengki, ketimbang memenuhi janjinya untuk mengadakan dialog dengan rakyat Papua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malah justru lebih memfokuskan perhatian kepada percepatan pembangunan di Papua dengan mendirikan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), yang lebih menitikberatkan pada isu pembangunan. “Ironisnya, pembangunan yang dilaksanakan di Papua tidak berdasarkan partisipasi rakyat, contohnya proyek MIFEE yang menjadi proyek Pemerintah Pusat yang justru meminggirkan orang asli Papua”.

Desakan lima negara soal masalah Papua merupakan suatu langkah maju dalam dinamika politik orang Papua. Namun, akan menjadi kotor bila agenda penuntasan HAM di jadikan alat barter semata. Semoga saja desakan ataupun rekomendasi semacam ini dapat di tindak lanjuti oleh negara Indonesia sebelum masalah Papua kian kronis bahkan pintu-pintu perdamaian kian tertutup rapat. Rekomendasi lima negara merupakan perhatian serius atas masalah Papua sehingga butuh tindakan pemerintah Indonesia untuk segera berunding dengan rakyat Papua, dalam hal ini para tokoh ataupun pentolan perjuangan Papua. 

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.