Gambar satu |
Oleh: Arkilaus Baho
Banyak kalangan yang pro Papua Merdeka melihat fenomena yang muncul pada kongres III Papua sebagai kemajuan perjuangan menegakkan hak rakyat di Papua. Hak ber-politik dan hak menyatakan kehendak. Soal hak memang tidak bisa di batasi oleh siapa pun di dunia ini. Namun, menarik bagi saya memandang masalah ini dari segi tangan tak kelihatan yang cenderung di praktikkan oleh para pemodal, khusus pada masalah yang di alami ketua DAP dan kawan-kawannya yang berakhir pada hukuman penjara tiga ( 3 ) tahun.
Perlu di catat, kongres III pecah setelah sebelumnya terjadi demo dan pemblokiran jalan di seputar freeport. Toh, bentrokan berdarah yang lahir di Jayapura sebagai imbalan pengalihan isu tersebut tidak bikin niat mengatasi persoalan buruh di tubuh freeport kendor. Justru keinginan buruh di capai walaupun ada pengalihan isu dengan bentrokan pasca kongres III di Jayapura.
Memori yang timbul dalam sejarah konspirasi freeport selama keliling dunia, tak bisa di atasi dengan suatu pencarian fakta hukum yang falid, karena proyek semacam pengalihan isu merupakan alat ampuh bagi freeport yang terus masih berlaku sejak tahun 1965 injak kaki di Indonesia dan ke Papua.
Dahulu, bila freeport terancam, pasti dialihkan dengan perang suku atau bentrokan budaya masyarakat setempat. Selain politik pengalihan itu secara sistematis tersebut, cara lain yang di pakai untuk mengamankan perusahaan amerika tersebut dilakukan dengan kekerasan nyata yang melibatkan oknum jenderal NKRI. Pelanggaran HAM yang di catat selama pertumpahan darah demi pengamanan freeport sampai sekarang tertutup rapat.
Gambar Dua |
Nah, hadirnya konflik yang terjadi pada kongres III Papua tahun lalu, justru memberi peluang ampuh bagi berbagai kepentingan yang berdiri menopang keamanan freeport. Mereka pukul pemerintah Indonesia dengan menggunakan isu HAM yang terjadi pada kasus pembubaran paksa kongres yang mengakibatkan jatuh korban, sampai pada upaya mencari sensasi dengan menjadikan tuan Ferkorus dkk yang di tahan sebagai alat kampanye mereka.
Bicara soal kongres III Papua sendiri, sebelum di gelar, memang ada pro dan kontra dari rakyat Papua. Beberapa organisasi menyatakan menolak, bahkan pihak Tentara Pembebasan Nasional pun terpecah dalam mengambil sikap mendukung atau tidak. Nampak hanya TPN dari Manokwari saja yang ikut ambil bagian pada forum tersebut.
Terlepas dari orang luar yang punya kepentingan ekonomi di Papua memanfaatkan kasus ini sebagai bergaining untuk tawar-menawar dengan pemerintah RI, saya percaya penyelenggaraan kongres III Papua lebih pada bagaimana mengutamakan aspirasi rakyat Papua untuk menegaskan bahwa negara Papua terus nyata di dunia. Maka itu, kepeloporan tuan Ferkorus Yaboisembut merupakan bagian perjalanan panjang dalam menoreh sejarah perjuangan Papua.
Gambar Tiga |
Negara Papua di deklarasikan awalnya hanya menamai simbol negara dan batas negara. Namun, KRP III lebih memperjelas garis negara yang di maksud west papua tersebut. Seperti batas negara, pemerintahan bentuknya seperti apa dan calon presiden pun di umumkan di publik.
Seraya mendukung sikap gentel dari pejuang Papua yang kini di penjara tersebut, tulisan ini lebih mempertegas sikap bahwa apapun aspirasi orang Papua janganlah di manfaatkan hanya sekedar menggertak Indonesia di Papua. Tapi, benar-benar mendukung perjuangan Papua.
Begitu pun bagi pejuang Papua di kemudian hari harus merefleksikan perjuangan yang dilakukan. Baik yang sudah ada maupun akan dilakukan di kemudian hari. Caranya menjauhi aspirasi perjuangan negara Papua dari upaya kelompok tertentu untuk memanfaatkan sikap orang Papua demi mengamankan kepentingan ekonomi maupun politik tertentu yang selama ini menggurita di bumi Papua bagian barat.
Publik sadar sekali, seketika dua kasus berdarah yang timbul bersamaan di Papua, sudah dapat di petakan siapa yang mengambil untung dari semuanya. Kalau karyawan freeport yang tertembak, saya belum lihat kecaman yang brilian dari organisasi HAM semacam HRW di Amerika Serikat, tapi justru kecaman bahkan pengawalan terus di berikan kepada penggagas kongres III yang kini di jatuhi hukuman tiga tahun penjara.
Mestinya, sebagai pejuang kemanusiaan, kekerasan yang memakan korban nyawa, harus di suarakan merata, dan tidak pandang bulu. Namun, kedua kasus yang terjadi sudah jelas dimana keberpihakannya selama ini.
Maka itu persoalan hukum yang dialami tuan Ferkorus dan teman-temannya sekarang, bagi saya ada kelompok tertentu yang memanfaatkan kasus tersebut. Di manfaatkan untuk pengalihan isu, di manfaatkan untuk gertak menggertak pemerintah karena kita tahu saat ini pemerintah Indonesia sedang berupaya me-renegosiasi ulang kontrak yang di bilang sudah keramat di Papua, yaitu freeport.
Hasil dari bentrokan yang memakan korban nyawa baik di freeport maupun di Jayapura ( KRP III ) sudah nyata efektifitasnya. Di freeport, walaupun ada korban nyawa, saat ini presiden freeport yang baru adalah bekas ESDM NKRI.
Lalu, pasca bentrokan berdarah pada KRP III, walaupun mendapat banyak kecaman dari dunia, toh tokoh Papua tetap di penjara dan sejak itu UP4B jaya di Papua dengan di pimpin oleh jenderal berpakaian sipil.
Dengan demikian masalah hukum yang kini di hadapi Yaboisembut dkk semakin jelas bahwa sejarah konspirasi freeport kini bertambah lagi dengan menjadikan ketua Dewan Adat Papua sebagai tumbal. Entah siapa lagi yang giliran di jadikan korban kapitalisme di Papua di kemudian hari, rakyat Papua harus berkaca dari sekarang.
Tentang Gambar:
Gambar Satu:
Gara-gara perang saudara, Sudan Selatan oleh PBB di berikan kemerdekaan penuh sebagai negara sendiri. Nampak Sekjend PBB Baanki Moon Saat Mengumumkan Negara Sudan selatan.
Gambar Dua:
Petrus/Pieter Ayamiseba, salah satu dari karyawan freeport yang tewas di berondong peluru aparat NKRI yang bertugas mengamankan freeport. Suara pegiat HAM seakan tenggelam disini.
Gambar Tiga:
Ketua Dewan Adat Papua sekaligus terpidana tiga tahun penjara, Ferkorus Yaboisembut dkk sedang berada di penjara.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.