Dibaca :

Rabu, 22 Februari 2012

PEMUDA PAPUA: Mau Bawa Otsus Kemana?


Persahabatan Menghilangkan Perbedaan dan Menumbuhkan Keakraban Diantara Kita Mahasiswa Dan Mahasiswi Sorong Raya “ IKMASIR, IKMAPSORSEL, IPMT, Maybrat Dan Raja Ampat” Losmen Anoman, Parang Tritis 1 Oktober 2011

Oleh: Arkilaus Baho
***
Thema acara perkenalan sekaligus keakraban diatas seperti obat perangsang saja untuk membuka cakrawala pentingnya sebuah persahabatan. Bicara soal persahabatan, banyak sekali pengertianya, Ada persahabatan antar aliran kepercayaan, ada persahabatan antar suku, ras, etnis dan kebangsaan atau suatu negara. Ada pula persahabatan sebatas dua sejoli yang jatuh cinta satu sama lain. Namun, persahabatan yang diamaksud penyelenggara acara makrab hari ini adalah  persahabatan sebagai intelektual muda Papua yang bertarung nasib menimba ilmu di perantauan.

Ya, jebolan sarjana Papua dari kota studi Yogyakarta ketika selesai kuliah dan pulang ke Papua, jalinan persahabatan yang telah dibangun selama di Jogja terus mereka lakukan di Papua. Baik yang di PNS, Swasta dll. Nah, pendahulu kita yang telah bekerja dan mengabdi di Papua, tentunya merasakan keadaan politik dan situasi penyelenggaraan otonomi khusus untuk Papua. Oleh sebab itu, mari simak apa yang saya  tulis: Pemuda Papua Mau Bawa Otsus Kemana?.

Sebagai wacana awal akan saya tulis sebuah pengantar tentang realitas Papua dan otonomi khusus. Selanjutnya, politik dibalik otsus itu sendiri untuk memberi pemikiran lain dari pemikiran yang selama ini para pemuda Papua bingung tentang otsus untuk apa dan siapa yang punya otsus. Tulisan diakhiri dengan kritik terhadap cara pandang pemuda Papua terutama terhadap kebijakan globalisasi di dunia dan pengaruhnya terhadap implementasi otsus Papua. Nah, kalau sudah demikian, baru kesimpulannya: peran pemuda Papua terhadap otonomi khusus. Kesimpulan tersebut lebih pada keberpihakan kaum intelektual muda Papua itu sendiri.

A.    Pengantar
Banyak pustaka sejarah tentang Papua, baik yang orang Papua tulis maupun para pemerhati Papua. Singkat saja dirangkum seperti ini, Pulau Papua resmi direbut dan klimaksnya adalah Liga bangsa-bangsa abad 20 yang berhasil membagi satu pulau ( Sekarang: Papua dan Papua Nugini ) menjadi dua Negara berbeda. Perbedaan ini dapat di pandang pada pola cengkraman politik,[2] dan kedaulatan ekonomi masing-masing. Papua Nugini milik Inggris dan Papua Barat milik Belanda. Untuk memelihara kepentingan ekonomi dan politik di wilayah yang berhasil dibagi ini, Australia diberi kewenangan untuk kendali atas PNG, sedangkan Papua Barat diberi kepada Indonesia untuk berkuasa.

Varian globalisasi abad 21 berhasil mendesain corak yang sempurna dan merasuki dua wilayah yang mayoritas dihuni penduduk Melanesia.  Berbeda dengan perebutan Papua Timur, Papua Barat diduduki oleh gelombang pendudukan yang paling rumit.  Karakter politik Papua di abad 21 tentu sudah nyata sekarang, bahwa upaya perebutan Papua Barat tidak terlepas dari gejolak perang dunia I-II, dimana disaat itu terjadi perseteruan blok politik kapatalis ( Barat ) dan sosialisme ( Timur ) bersitegang.

Namun, Komitmen untuk mendukung kemajuan orang Papua tidak ada dalam kamus perebutan wilayah ini dan sampai sekarang semakin nyata kapitalisasi dalam era globalisasi. Sumber utama rantai penguasaan Papua dipandang penting hanyalah sebatas sumber daya alam. Pokok eksploitasi yang menjadi tujuan utama ekspansi kepentingan ekonomi dan politik sampai pada saat ini, telah menjadikan Indonesia sebagai ikon ( baca: sesuatu acuan ) Negara demokrasi yang mau berupaya membangun corak baru di bumi Papua Barat. Tentang kemenangan demokrasi, menurut Francis Fukuyama, perkembangan ideologi-politik umat manusia akan berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal.[3]

Secara politik, Perampasan Papua tentunya tidak luput dari jatuhnya korban di pihak orang Papua. Korban fisik tentunya pelanggaran HAM yang begitu meningkat dan belum ada penindakan serius Negara Indonesia yang hari ini mengakui Papua sebagai bagian integral dalam Ibu Pertiwi. Juga korban sistematis secara politik dialami orang Papua. Simak saja perebutan Papua melalui Trikora 1 Mei 1963 dibawah komando presiden pertama Indonesia Bung Karno. Perebutan Papua oleh Indonesia sendiri tidak  terjadi begitu saja, namun telah dilakukan juga melalui upaya perundingan dengan Belanda disaat itu. Pertemuan Meja bundar, Perjanjian renvil hingga penyelenggaraan PEPERA ( baca: referendum pertama ) merupakan dinamika sejarah yang terus menjadikan ingatan historis bagi anak-anak Papua. Akibat dari gerakan perjuangan rakyat Papua yang dicetuskan pada 1 Desember 1961 kemudian ditambah lagi dengan pendirian organisasi Papua pada 1 Juli 1965 di Manokwari, jadilah ketegangan yang begitu sengit memuncak dan tak bisa dihindari. Kontradiksi Papua vs Indonesia melahirkan apa yang kita kenal dengan daerah Operasi Militer. Masa DOM baru berakhir seketika rezim militeristik jatuh pada mei tahun 1998.

Disisi lain, upaya percepatan hubungan ekonomi pun di jalankan di Papua. Opsi bagi Papua sampai sekarang pun tidak berubah. Kontradiksi ( baca: pertentangan ) antara orang Papua ingin pisah dari NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia ) dengan pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara Negara terus memanas. Gelombang kebijakan hukum dikeluarkan Negara. Undang-undang untuk Papua tidak sama dengan UU yang berlaku di daerah lain di Indonesia. Selain kebijakan hukum nasional lainya, titik utama Papua dibawa kedalam dunia eksploitasi diawali dengan pemberlakuan UU No. 11 tahun 1967 tentang penanaman Modal Asing. Freeport kemudian berstatus hukum tetap untuk mengeruk kekayaan alam Papua.
Segi sosial budaya orang Papua punya dinamika yang unik. Masyarakat Papua yang didalamnya elemen pemuda dan perempuan saling berlomba untuk mempertahankan eksistensi sebagai “AKU PAPUA”. Tercatat sebagai wilayah yang memiliki 312 suku ( menurut literatur suku – suku di Indonesia ). Badai kebijakan yang anti peradaban Papua datang silih berganti, melaui eksploitasi yang merusak sagu, hutan, tempat keramat, berujung pada penghancuran sumber-sumber ketahanan hidup penduduk asli. Suku Nebes di Tanah Besar kabupaten Sorong Selatan sudah tidak punya sagu lagi karena pabrik sagu milik Almarhumah. Ibu Tien Suharto ( Jayanti Group ) menjarah habis dusun-dusun sagu tanpa ada pengembalianya berupa penanaman kembali bibit pohon sagu. Warga Papua asli Suku Kamoro dan Amungme menjadi penonton diatas tambang emas dunia di Timika. Hutan Taman Idustri di Klamono babat hutan untuk tanam kelapa sawit. Di bagian Selatan Papua, proyek pangan nasional bernama Merauke Integrated Food Estate and Energy ( MIFEE ) mengancam kepunahan baru bagi suku-suku asli disana. British Petroleum sudah melebarkan sumur gas dengan membangun beberapa sumur gas di Fak-fak dan Kaimana. Hak Pengelolaan Hutan ( HPH ) hampir merata dan membabat habis pohon-pohon di Papua. Kabupaten Tambrauw tidak luput dari jarahan kayu.
Apa yang orang Papua dapat dari:
1. Aneksasi kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia?.
2. Sejauh mana keuntungan yang didapat dari kebijakan pemerintah memasukan investasi dan kebijakan pembangunan ke Papua?
3. Sampai kapan kebijakan anti Papua terus berjalan?

Tiga pertanyaan diatas harus di jawab oleh penyelenggara Negara di Papua. Terutama para pemuda Papua sebagai tulang punggung keselamatan rakyat. Satu satunya trend kebijakan sekarang yang menjadi tolok ukur pemberdayaan masarakat Papua ialah UU N0.21 tahun 2001 silam. Bagimanakah kado otsus sudah sukses kah trada. Atau kado yang dong bawa ke Papua sana ibarat bawa garam buang ke air laut?. Mari torang simak politik dibalik otsus.

B.     Politik Otsus Papua
Bicara soal otonomi daerah bukan hal baru di Indonesia. Sejak jaman Sukarno sampai Orde Baru ( Suharto ) sudah ada. Dalam ilmu ketatanegaraan, otonomi sudah ada sebelum reformasi tahun 1998. Otonomi di ilhami pada konteks adanya Dewan Perwakilan Rakyat di daerah. Proses pemilihan kepala daerah langsung, baik oleh wakil rakyat maupun sekarang dikenal dengan rakyat yang pilih langsung. Jadi, fakta bahwa otonomi itu ada berbarengan dengan dibentuknya dewan perwakilan rakyat dan pemilihan kepala daerah langsung baik oleh mereka yang diwakilkan maupun langsung dipilih oleh rakyat seperti sekarang. Lalu, kenapa tahun 2001 otonomi Papua lebih di khususkan?.

Wacana Otonomi Daerah Menurut Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, MA bahwa Pada masa lampau otonomi bukan dianggap sebagai hak yang melekat bagi masyarakat daerah sebagai bagian dari pemerintahan demokrasi. Otonomi daerah atau desentralisasi pada masa pemerintahan Orde Baru merupakan kosa kata yang sering kali dipersepsikan secara negatif dengan menekankan pentingnya tanggungjawab daerah didalam memelihara dan menjaga Negara kesatuan. Bahwa kehendak untuk memisahkan diri dari keompok masyarakat Papua dikarenakan pengalaman pemerintahan masa lampau yang tidak memberikan peluang yang sepantasnya bagi mereka untuk mengembangkan diri semaksimal mungkin sesuai dengan potensi yang mereka miliki.[4]

Kalangan ilmuwan pemerintahan dan politik pada umumnya mengidentifikasi sejumlah alasan mengapa desentralisasi perlu dilaksanakan pada sebuah Negara, tertulis dalam buku “ Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan” yaitu antara lain (1) dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, (2), sebagai wahana pendidikan politik masyarakat di daerah, (3) dalam rangka memelihara keutuhan Negara kesatuan atau integrasi nasional, (4) untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah, ( 5 ) guna memberikan peluang bagi masyarakat untuk membentuk karir dalam bidang politik dan pemerintahan, (6) sebagai wahana yang diperlukan untuk memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pemerintahan, ( 7 ) sebagai sarana yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan didaerah, ( 8 ) guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Point ke 5 pendapat para ilmuwan diatas yang paling muncul di permukaan dalam konteks pemilukada di Papua. Bagi siapa saja yang punya modal cukup, tentu maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Maka itu, tiap kali ada pilkada, minimal terdapat 5 kandidat yang bersaing. Sedangkan point ke 6 lebih pada upaya membangun budaya kritis terhadap kinerja pemda. Kontrol publik diharuskan untuk menjalankan aktifitas pemerintahan otonom di daerah.

Tujuan otsus di Papua sesuai pemikiran para pencetusnya diatas, maka saya berpendapat bahwa otsus tidak kurang dan tidak lebih hanya sebatas membuka kran globalisasi ke Papua saja. Kenapa?. Ya, ijin pertambangan investasi lebih mudah didapatkan melalui kepala daerah daripada melalui pusat Jakarta. Artinya Kepala pemerintahan di pusat kekuasaan kemudian membagikan budaya maling ke daerah melalui otonomi daerah. Rakyat hanya ditempatkan sebagai anjing yang menggongong dari luar pagar perkantoran pemerintahan. Jadilah otsus dijalankan menurut perspektif sosialis utopia yang menganggap bahwa suatu penguasa bisa membuat kebijakan pro rakyat bila ada penasihat banyak-banyak yang menasihati penguasa. Konteks Papua dimaknai sebagai upaya pendirian Lembaga Swadaya Masyarakat guna memberdayakan masyarakat untuk mengontrol kebijakan pemerintah biar adil. Sedangkan pemerintah sendiri sudah dengan sendirinya menjalankan roda globalisasi yang nota bene adalah kampiun pasar neoliberalisme. SIAPA TIPU SIAPA dan SIAPA yang DAPAT TIPU…?

Supaya lebih jelas, kaum muda Papua, terutama yang datang kuliah jauh-jauh ke Jogja sini perlu mengetahui suatu cakrawala baru, pemikiran kritis dari segi ekonomi dan pilitiknya pembangunan Papua, dan untuk lebih memberikan fakta siapa tipu siapa dan siapa yang dapat tipu, saya memberikan catatan kritis terkait globalisasi. Sangat penting karena Papua sekarang ada dalam roda pasar bebas.

C.    Gurita Globalisasi di dunia Terhadap Dinamika Pembangunan Papua di era Otsus

Nama Irian Barat dirubah menjadi Irian Jaya seketika mantan Presiden Indonesia ( Alm. Suharto ) meresmikan pertambangan emas dan batu bara milik perusahaan Amerika Bernama PT. Freeport Mc Mooran yang diubah namanya menjadi Freeport Indonesia. Merupakan salah satu contoh, bahwa globalisasi telah menggurita di bumi Papua. Penjelasan singkat otsus sebelumnya pun sudah jelas bagaimana pasar bebas mengijinkan segala cara untuk bisa bebas keliling dunia.

Di era pasar bebas sekarang, rakyat dilarang keras untuk merdeka. Hanya pemilik modal ( baca: kapitalis ) saja yang boleh merdeka. Free and Port atau bebas mengeruk menjadi satu paket sehingga harus dibuka batas-batas Negara di seluruh dunia. Hakekat Negara untuk menjalankan kedaulatan Negara, menjalankan kedaulatan ekonomi suatu Negara sudah tidak berlaku lagi di jaman pasar bebar sekarang. Negara terancam fungsinya sebagai kendali perekonomian nasional. Lihat saja, perusahaan nasional seperti BUMN di kasi ke para pengusaha yang kelola lalu pemerintah hanya dapat pajak. Pendapatan Negara dari hasil pajak perusahaan sering di sebut tetesan modal mengalir ke kas Negara lalu Negara pakai sedikit hasil kekayaan yang di jarah itu untuk membangun jalan, rumah bagi rakyat, pendidikan dan seterusnya. Fingsi Negara di era globalisasi sudah semacam penjaga malam saja, penjaga perusahaan, penjaga bar dan diskotik, penjaga perkebunan dst.

Dosen FISIPOL Universitas Indonesia, Ignatius Wibowo dalam bukunya berjudul” NEGARA CENTENG-negara dan Saudagar di Era Globalisasi” mengurai secara teoritis penolakan terhadap Negara. Bahwa segala macam campur tangan ( intervention ) Negara yang bermacam-macam itu di kritik dan ditolak oleh para ekonom ber-aliran neo-klasik atau yang disebut juga “neoliberal”. Menurut pandangan mereka ( baca: ekonom neoliberal ), mekanisme pasar ( market mechanism ) pada dasarnya sudah cukup untuk menggerakkan roda ekonomi, atau bahwa invisible hand cukup membuat lancer produksi, distribusi, maupun konsumsi. Setiap campur tangan Negara hanya akan membuat distorsi. Artinya, Negara dilarang oleh penganut neoliberal untuk campur tangan dalam urusan ekonomi karena perusahaan sudah identik dengan Negara yang mampu menjalankan peran Negara.

Eh, trus kenapa harus ada Negara didunia ini kah kalau peran Negara sudah diambil alih oleh pemilik modal. Trus, bagaimana dengan nasib otonomi khusus Papua mampu kah di jalankan oleh pemerintahan Negara Indonesia, dimana peran pemerintah sendiri sudah dikikis habis oleh pasar globalisasi?. Lalu apa tugas kita sekalian sebagai generasi Papua yang mau datang kuliah disini ( Jogja ) dengan harapan kembali ke Papua untuk bangun Papua dengan program otonomi khusus maupun program lain dalam bingkai globalisasi. Tantangan bagi kaum muda Papua, dibawah ini menjadi pekerjaan rumah dan harus perlu belajar membangun kualitas intelektual lebih utama daripada mengejar status sosial semata, supaya lolos  bernapas panjang untuk dongkrak Papua lebih maju lagi daripada ikut arus dalam bangkai ( baca: kebusukan sistem kapitalisme ) globalisasi sekarang.

D.     Lalu, Pemuda Papua Mau Bikin apa dengan Otsus kah?
Memang bukan hal mudah, ketika orang Papua mau mengangkat Papua biar Papua itu ada dalam kerangka kehidupan dunia sekarang. Terutama dalam menjalankan roda pemerintahan otsus, banyak pemikiran yang memandang bahwa otsus merupakan pintu menuju merdeka. Tetapi penjelasan sebelumnya diatas membuka wacana berpikir kita bahwa otsus bukan untuk merdeka kalau dilaksanakan menurut jalur yang sekarang bergerak melalui sistem birokrasi kapitalisme.

Buku Kinichi Omahe ( The End of Nation-State ), mengumungkan berakhirnya Negara bangsa. Omahe Mengatakan bahwa Negara akan lenyap. Orang sulit membayangkan sebuah dunia tanpa Negara. Menurut Omahe, Negara adalah batu peninggalan abad ke-18 dan ke-19 ( the artifact of the 18th and 19th centuries ). Dimasa lampau orang berperang atas nama Negara. Senjata sebuah Negara diacungkan kepada Negara lain. Tapi kini Negara telah lenyap karena tidak ada batas Negara. Sulit untuk menentukan siapa masuk tapal batas apa karena kegiatan ekonomi di tingkat global telah menerjang tapal batas itu dan merusak gari-garis peta politik tradisional. Omahe menunjuk pada kenyataan global capital market yang tidak lagi minta permisi kepada Negara untuk menentukan nilai tukar mata uang.[5]

Misalnya Omahe member contoh bagaimana sebuah produk tidak lagi dapat dihasilkan oleh sebuah Negara. Produk sebuah perusahaan Amerika tetapi komponen-komponenya dibuat dari pabrik-pabrik yang tersebar diseluruh dunia. Satu fakta lunturnya label nasional suatu Negara ( national label ), tidak relevan lagi mengatakan sebuah produk adalah buatan Negara tertentu. Lenyapnya Negara itu ketika kegiatan ekonomi global makin meningkat. Thomas Friedman, wartawan New York Times mengatakan hal yang sama dalam bukunya berjudul ( The Lexux and The Olive Tree ), katanya, semua Negara didunia kini berpakaian sama, yaitu The Gloden Straitjacket. Artinya Negara harus menjalankan pasar bebas, membuka lebar-lebar pasarnya untuk produk-produk dari mana saja di dunia. Bahkan dikatakanya bahwa Negara-negara yang menolak memakai the golden straitjacket ia akan kena hukumanya sendiri. [6]

Bagaimana dengan nasionalisme?. Hal ini pun dianggap kuno, hanya relevan ketika Negara-negara masih Berjaya. Baik Omahe maupun Friedman, keduanya berpendapat bahwa nasionalisme adalah penghambat dari kegiatan ekonomi yang kian mengglobal ini. Tidak mungkin atas nama nasionalisme membatasi keluar masuknya produk, atau keluar masuknya tenaga kerja, atau keluar masuknya modal. Orang tidak memakai produk karena paham nasionalisme, begitupula orang tidak mempekerjakan seseorang karena memangdang sikap nasionalismenya. Nasionalisme juga berakhir, seiring berakhirnya Negara-bangsa. Pandangan bahwa Negara tidak lenyap hadapai globalisasi dating dari Ronen Palan dan Jason Abbot, menurut mereka bahwa Negara-negara tidak tinggal diam hadapi globalisasi. Dalam buku mereka ( State Strategies in the Global Political Economi ), mereka memperlihatkan bagaimana Negara-negara maju maupun sedang berkembang berusaha sekuat tenaga menyusun strategi yang tepat untuk menghadapi actor-aktor global.[7]

Ada tujuh strategi yang dikembangkan oleh Negara-negara itu: (1). Negara yang satu bergabung dengan Negara lain dan membangun sebuah kelompok regional, (2) mengembangkan model developmental state, (3) mengembangkan modus “ demokrasi social”  dalam usahanya mengintegrasikan diri dalam ekonomi dunia, (4) beberapa Negara berupaya untuk mendominasi ekonomi regional, bahkan ekonomi dunia untuk menjalankan hegemoni, (5) Negara miskin dan lemah memanfaatkan tenaga murah yang melimpah untuk menarik modal asing, (6) mereka akan mencari niches yang bersifat parasit di pasar dunia, seperti tax havens, (7) mereka mungkin sama sekali tidak ikut dalam kompetisi global akibat himpitan struktur. Akibat dari berbagai strategi yang dikembangkan ini, Negara-negara di dunia saat ini mempunyai wajah yang berbeda-beda, bukan wajah atas dasar rasa tau kebudayaan, melainkan atas dasar kemampuan mereka menyesuaikan diri terhadap arus globalisasi. Tujuh strategi diatas sebenarnya mewakili tujuh tipologi Negara-negara yang sekarang ada di dunia.[8]

Dunia sekarang sudah dikapling dengan agenda pasar bebas. Papua sudah menjalankan globalisasi sejak pulau Papua dibagi dua Negara ditambah dibagi lagi menjadi dua provinsi dan puluhan kabupaten. Yang bikin ulah hancurnya Papua juga orang Papua sendiri sebagai agen pembangunan yang membuka kran eksploitasi. Kalau sekarang banyak anak muda memilih tidak tahu dengan keadaan dulu, misalnya ada nada sinis bilang: tong tra tahu Freeport itu masuk siapa yang kasi ijin. Atau Otonomi Khusus itu siapa yang bawa datang ke Papua kah?, Indonesia kah? Orang Papua kah?. Saatnya bukan waktunya untuk apatisme terhadap kebijakan salah kaprah di Papua. Tetapi mari mempelajari apa yang salah, baik dari kebijakan, sistem politik maupun ekonomi, lalu kumandangkan ruh pembebasan dengan daya kualitas kita masing-masing.

Selamat datang untuk saudara-saudari saya yang baru mau kuliah, cakrawala saya melalui tulisan ini hanya sepenggal saja, silahkan, selama belajar bisa di pelajari lebih lanjut sistem politik dan ekonomi di dunia, lalu pandanglah Papua, akan anda dapatkan akar persoalan kenapa Papua itu belum adil baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya. Dengan demikian, sangat jelas, kapasitas kita sebagai generasi muda Papua harus memilih jalan untuk berpihak kepada siapa dan untuk apa berpihak. Otonomi Khusus dibawa memihak kepada siapa, tantangan pemuda Papua menghadapi problema otsus hari ini dan akan datang. Kepada rakyat anda berpihak atau kepada para bandit ekonomi politik globalisasi?. Itu saja…

  
Bibliografi:
1.      Ideologi Politik Mutakhir ( Konsep, Ragam, Kritik, Dan Masa Depannya ), Ian Adams-Guru Besar Sains Politik di New College, Durham. Penerbit Qalam Yogyakarta, cetakan pertama Juli 2004
2.      Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal “ Francis Fukuyama “, Guru Besar Omer L. dan Nancy Hisrt di bidang kebijakan public, school of public policy, George University, Washington, Dc-Penerbit Qalam Yogyakarta, Cetakan Pertama, Mei 2001
3.      Negara Centeng “ Negara dan saudagar di Era Globalisasi “. I. Wibowo, Penerbit Kanisius Yogyakarta, cetakan pertama tahun 2010
4.      Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan: Drs. H. Syaukani, HR, Prof. Dr. Afan Gaffar, MA, Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, MA, Pustaka Pelajar Yogyakarta, cetakan ke VI Oktober 2004
5.      Negara dan Bandit Demokrasi, Ignatius Wibowo, Kompas Jakarta 2010, cetakan pertama tahun 2011


[1] Judul ini disampaikan pada kegiatan pengenalan Mahasiswa/I asal Sorang Raya, 1 Oktober 2011 di Yogyakarta. Papua yang saya tulis disini meliputi wilayah Sorong Hingga Merauke.
[2] Cengkraman politik artinya, suprastruktur kebijakan penguasa atau pejabat lebih mengarahkan segala upaya untuk memenuhi keinginan pasar. Keinginan pasar yang dimaksudkan adalah sistem neoliberalisme. Neoliberalisme sendiri ialah: Pasar, Korporasi ( Perusahaan ), kepemilikan Privat dan Negara. Sebuah tatanan nilai ekonomi dan politik yang mendorong kepemilikan public menjadi milik pribadi sehingga dapat di jalankan menurut keinginan pasar.
[3] Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal “ Francis Fukuyama”, Pengantar Prof.Dr.R.Z. Leirissa, Cetakan Pertama, Mei 2001, Penerbit Qalam Yogyakarta
[4] Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan: Bagian xvi kata pengantar, kerjasama Pustaka Pelajar dengan Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan, Penerbit; PUSTAKA PELAJAR Yogyakarta, Cetakan VI Oktober 2004
[5] Halaman 1 pendahuluan, Negara Centeng, Kanisius Yogyakarta, I Wibowo
[6] Halaman 2 pendahuluan, Negara Centeng, Kanisius Yogyakarta, I Wibowo
[7] Halaman 3 pendahuluan, Negara Centeng, Kanisius Yogyakarta, I Wibowo
[8] Halaman 4 pendahuluan, Negara Centeng, Kanisius Yogyakarta, I Wibowo
Cendramata diberikan Kpd Pemateri Seminar Bung Arkilaus Baho (kanan) Ketua Umum Liga Perjuangan Nasional Rakyat Papua Barat (LPNR-PB )., oleh Bung Hamah Sagrim- Mewakli Senioritas IKMASOR DIY
@Westapua-arki

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.