fairfax media |
Oleh: Good Weekend dan Fairfax Media
Papua telah digarap dari beragam
sudut kepentingan. Ini cara-cara yang dipakai untuk merubah orang Papua. Visi misi dari
pemerintah, organisasi masyarakat dan pelopor ekonomi imperialis pun sama. Apakah yang salah dengan rakyat
Papua sehingga metamorfosis kepentingan-
kepentingan terselubung dengan legalnya begitu mudah masuk dan menggayang
orang-orang disini. Inikah filsafat Papua yang mengatakan: satu piring
beragam sendok?
Rekrutmen para penghulu agama untuk berdakwah disini bukan baru. Setelah
kepala suku Asmat masuk islam, ratusan orang dari suku Nebes di Sorong Selatan
ramai-ramai membaca kalimat syahadat sebagai syarat menjadi seorang mualaf. Kini
ada penelusuran (investigasi) dan menjijikkan. Ya, karena misinya sudah
penipuan berjubah pendidikan gratis. Sarana pendidikan dijarah hanya demi kepentingan
golongan dan pemeluk agama. Apalagi sistem pendidikan saat ini yang materi kurikulumnya
bias agama pula.
Beda, jika menjadi mualaf hanya karena keyakinan pribadi dan bukan paksaan
terselubung. Beberapa artis dan pemain bola yang akhir akhir ini menjadi mualaf
atas keiklasan pribadi tanpa kepentingan apapun dibalik itu. Konon misi
pendidikan gratis demi meng-islamkan anak anak Papua sungguh kemunafikan yang
tak berperikemanusiaan.
Jubah Pendidikan Gratis Sebagai Tameng Semata
Ada kepala polisi di pedalaman Papua tepatnya di sekitar pegunungan tengah
tugasnya merekrut anak-anak usia dini, laki laki maupun perempuan yang ada
disini untuk menghubungkannya dengan ormas tersebut untuk dibawa ke pulau Jawa
dan di jebloskan kedalam pesantren. Setelah tamat, anak anak itu akan menjadi
ustad di bumi Papua. Begitulah penelusuran yang dilakukan oleh Good Weekend[1]; Mereka mengambil anak-anak kita.
Publikasi investigasi ini pada 4 Mei 2013 oleh Michael Bachelard dari Indonesia
koresponden Fairfax Media.
Pemuda Papua Barat dipindahkan ke
sekolah-sekolah agama Islam di Jawa untuk "pendidikan ulang", tulis
Michael Bachelard. Orang-orang yang mengambil Yope adalah bagian dari lalu
lintas terorganisir orang orang yang mengincar anak anak muda Papua Barat.
Selama enam bulan, Good Weekend
investigasi telah mengkonfirmasi bahwa anak-anak, diperkirakan jumlahnya
ribuan, telah tertarik pergi selama satu dekade terakhir atau lebih. dengan
janji pendidikan gratis. Wilayah dimana sekolah-sekolah miskin dan keluarga
miskin, tanpa biaya sekolah dengan mudah direkrut.
Tapi untuk beberapa anak-anak, yang mungkin seusia lima tahun, ketika
mereka tiba di lokasi, mereka sadar mereka telah direkrut oleh
"pesantren", dimana waktu untuk mempelajari matematika, ilmu
pengetahuan atau bahasa dikerdilkan oleh jam yang dihabiskan di masjid. Seperti
seorang pemimpin pesantren mengatakan, "Mereka belajar untuk menghormati
Allah, yang merupakan hal utama." Sekolah-sekolah ini memiliki satu
tujuan: untuk mengirim lulusan mereka kembali ke wilayah dimana mayoritas Papua
kristen untuk menyebarkan misi tentang Islam.
Ketika ditanyakan kepada 100 anak laki-laki dan perempuan Papua di sekolah Rasul Daarur yang terletak diluar Jakarta, ingin jadi apa ketika mereka tumbuh dewasa? dan mereka pun berteriak, Ustad, Ustad (guru agama)
Lanjut investigasi ini, di Papua, khususnya di dataran tinggi, masalah
identitas agama dan budaya eskalasinya cukup tinggi. Data sensus selama empat
dekade terakhir menunjukkan bahwa penduduk pribumi kini dicocokkan jumlahnya
dengan pendatang baru, sebagian besar Muslim, dari bagian lain Indonesia. Dominasi
pendatang dengan ekonomi baru, khususnya
di bagian barat provinsi, efektif meminggirkan penduduk asli. Imigrasi Ini
berarti bahwa masyarakat adat Papua memiliki
ketakutan nyata menjadi
etnis minoritas dan agama di negari mereka sendiri – dan ini realistis.
Cerita orang merampas anak-anak mereka menambahkan keunggulan emotif dan memiliki potensi untuk mengobarkan ketegangan di wilayah yang sudah rentan.
Selama sekitar 50 tahun, pemberontakan separatis telah aktif di Papua dan
ratusan ribu orang meninggal dalam upaya mereka untuk mendapatkan kemerdekaan
untuk provinsi. Kristen, yang dibawa oleh para misionaris Belanda dan Jerman,
menjadi iman dari sebagian besar
penduduk pribumi, dan bagian penting dari identitas mereka.
Islam sebenarnya memiliki sejarah yang lebih lama di Papua daripada
Kristen, tapi lebih lunak dibandingan dengan yang dikhotbahkan di
masjid-masjid garis keras di Jawa (dari khotbah khotbah di Mesjid jsutru
menunjukan budaya garis keras yang di tularkan dari Jawa-Pen), untuk saat ini
setidaknya, agama minoritas. Tapi ketika anak-anak pesantren kembali dari Jawa,
iman mereka telah berubah.
"Mereka menjadi orang yang berbeda," Salah seorang pemimpin Kristen Papua, Benny Giay, memberitahu saya. "Mereka telah dicuci otak".
Sekolah-sekolah bersikeras mereka merekrut hanya siswa yang sudah muslim,
tapi jelas mereka tidak terlalu rewel. Pada Daarur Rasul, saya dengan cepat
menemukan dua anak kecil, Filipus dan Aldi, yang mualaf - baru mengkonversi
(menjadi mualaf) dari agama mereka yang kristen. Salah satu organisasi Islam
radikal, Al Fatih Kafah Nusantara (AFKN), tidak mengubah niatnya, dan
menggunakan agama untuk tujuan politik.
Pemimpin Fadzlan Garamatan mengatakan AFKN telah membawa 2.200 anak dari Papua sebagai bagian dari program nasionalistiknya "Islamisasi". "Ketika [Papua] Islam, keinginan mereka untuk mandiri (pisah dari Indonesia) berkurang," kata Fadzlan pada halaman internet AFKN itu.
Daarur Rasul adalah setengah pesantren, setengah bangunan di kota satelit
Jakarta yang disebut Cibinong. Di sini,100 anak laki-laki dari dataran rendah (selatan ) berdiri dalam
kerumunan dibalik pintu gerbang untuk menyambut kami.
Pintu gerbang terkunci karena menurut salah satu anggota staf, "mereka
ingin melarikan diri". Empat puluh atau lebih anak perempuan hidup bawah
dengan lebih banyak kebebasan bergerak. Kepala sekolah Ahmad Baihaqi menegaskan
ia mengajarkan Islam moderat, dan anak-anak setidaknya ada tujuh, tetapi
beberapa terlihat lebih muda. Dia tidak menyangkal mereka dikurung, tetapi mengatakan
itu hanya selama jam belajar "untuk menempatkan disiplin pada
mereka".
Kisah Kisah Anak Papua
Februari 2013 lalu, kasus telantarnya anak anak Papua dari sebuah pesantren
di Tangerang mendapat tanggapan dari komnas ham Papua. Kabar ini menghilang
tiba tiba karena motif negara dibalik ini? Johanes Lokobal menghangatkan tangannya
di api di tengah rau. Dari waktu ke
waktu ia menjerit dan membanting dirinya sendiri dengan keras melawan dinding disebelahnya.
Desa Megapura di dataran tinggi tengah (pegunungan tengah) provinsi paling timur
Indonesia, Papua Barat begitu jauh dari
persediaan yang datang melalui
udara atau hanya berjalan kaki. Johanes Lokobal telah tinggal di sini sepanjang
hidupnya. Dia tidak tahu usia persisnya: "Hanya tua," katanya. Dia
juga miskin. "Saya membantu di ladang. Saya peroleh sekitar 20.000 rupiah
[$ 2] per hari. Aku membersihkan taman sekolah." Tapi dalam kehidupan yang
keras, salah satu kesulitan terutama menyinggung dia.
Pada tahun 2005, putra satu-satunya, Yope, dibawa jauh ke Jakarta. Lokobal
tidak ingin Yope pergi. Anak itu mungkin (diperkirakan ) 14 tahun usianya, tapi
besar dan kuat, seorang pekerja yang baik. Orang-orang yang tak bertanggung
jawab membawanya. Beberapa tahun kemudian, Yope meninggal. Tidak ada yang bisa
mengatakan kapan wakyunya kepada Lokobal, atau kapan tepatnya, dan dia tidak
tahu di mana anaknya dimakamkan. Yang dia tahu, secara tegas, adalah bahwa ini
tidak seharusnya terjadi. Good Weekend melansir investigasi mereka tentang
perjumpaan dengan sang ayah.
"Jika dia masih hidup, dia akan menjadi orang yang merawat keluarga," kata Lokobal. "Dia akan pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar untuk keluarga. Saya jadi sedih."
Yope muda adalah salah satu anak laki-laki tersebut. Meskipun ia memiliki
ibu tiri, ibu kandungnya telah meninggal. Baik Lani maupun Kowenip pernah
mengunjungi ayah Yope itu, Johanes Lokobal, untuk menjelaskan keadaan mereka. Ini masih melukai. "Orang-orang
harus meminta izin kepada orang
tua," kata Lokobal. Namun sebaliknya, mereka hanya meminta kepada Yope muda sendiri, yang antusias tentang
petualangan ini. Beberapa teman sudah tahun sebelumnya pergi dan ia tertarik
untuk bergabung dengan mereka. Ketika tiba saatnya untuk Yope untuk berangkat,
itu terjadi dalam sekejap, saudara tiri Elias mengingat.
"Aku pergi ke sekolah, dan ketika saya datang kembali tidak ada orang di rumah."
Andreas Asso adalah bagian dari kelompok yang sama. Seeorang pemuda pemalu
yang mencari nafkah di Jayapura, ibukota
Papua, ia 15 tahun pada saat itu. Seperti Yope, Andreas hanya memiliki satu
orang tua. Ayahnya sudah meninggal dan, meskipun ibunya masih hidup, ia tinggal
dengan ibu tirinya.
Seperti Yope, ia didekati secara langsung. "Mereka bertanya apakah
saya ingin melanjutkan studi saya di Jakarta secara gratis," kata Andreas.
"Kepala polisi tidak pernah berbicara dengan ibu tiri saya tapi dia
berbicara dengan paman saya, adik ayahku, dan dia setuju. Saya lahir Kristen
dan saya akan selalu menjadi orang Kristen. Kepala polisi hanya berkata kita akan
dimasukkan ke dalam kost ... Jika dia memberitahu
kami itu adalah pesantren, tidak satupun
dari kita akan ingin pergi. "
Dukungan Militer Pada Misi Ini
Binaan binaan militer memang marak di bumi Indonesia. Kasus Poso, Jogja,
ormas ormas anarkis, tak terlepas dari campur tangan teritorial kemiliteran
yang tak bertanggungjawab yang hanya mengisi indonesia dengan kekacauan belaka.
Ini tidak diketahui berapa banyak kelompok anak-anak yang telah diambil Amir
Lani dan Aloysius Kowenip. Teronce Sorasi, seorang ibu dari Wamena, mengatakan
bahwa ia didekati pada 2007 atau 2008 oleh "kepala polisi", yang
memintanya untuk mengirim putrinya, Yanti 5, dan putranya, Yance 11, ke
Jakarta, meskipun "Kami adalah keluarga Kristen". "Aku berkata,
'tidak' karena suami saya baru saja meninggal dan kami masih berduka,"
kata Sorasi.
Amir Lani masih tinggal di sebuah villa di perbukitan dekat Megapura.
Menurut Elias, setiap kali orang bertanya kepadanya tentang anak yang hilang
dari Wamena, "dia hanya menghindari mereka". Ketika saya menghubungi
Aloysius Kowenip melalui telepon, ia memberikan penjelasannya.
"Jika salah satu dari mereka telah merektrut satu orang lagi, maka, sebagai Papua, saya bangga dengan itu." Namun ketika ditanya tentang orang yang meninggal atau gagal, Kowenip tiba-tiba berakhir panggilan.
Beberapa hari kemudian, temannya Ismail Asso telepon dengan marah, maka
dikirim dua ancaman melalui SMS.
"Saya mengingatkan Anda ... tidak untuk menggali informasi tentang Islam dari Wamena," tulisnya, jika tidak "wartawan asing provokatif" akan "dideportasi dari Indonesia", atau "dipecat, dibunuh oleh [orang] Wamena"
Tulis Weekend; Dalam pergolakan Papua Barat, gerakan dan konversi anak-anak
adalah ledakan politik. Kami memperingatkan beberapa kali untuk tidak mengejar cerita.
Ini tidak pernah dilaporkan dalam pers Indonesia.
Ketika datang hari untuk meninggalkan, Andreas mengatakan sekelompok (satu
keberangkatan terdiri dari ) 19 anak laki-laki yang diangkut menggunakan
pesawat Hercules C-130 pesawat udara Indonesia di Wamena. Dengan beberapa tiket,
yang termuda dari mereka hanya lima. Pesawat itu diawaki oleh orang-orang
berseragam. Sudah sulit untuk memverifikasi apakah militer secara resmi
terlibat.
tetapi seorang mantan panglima militer mengatakan warga sipil Papua yang
diizinkan untuk membeli tiket murah untuk terbang pada pesawat militer sebagai
bagian dari "corporate social responsibility" militer. "Kami tidak berbicara kepada para prajurit,"
kenang Andreas. "Kami takut."
Butuh waktu dua hari untuk pesawat untuk mencapai Jakarta dan, "kami
tidak diberi makan atau minuman yang ditawarkan. Beberapa, terutama yang kecil,
jatuh sakit ... yang muntah beberapa," kata Andreas.
"Ketika mereka datang ke desa saya, saya pikir saya ingin pergi. Tapi ketika saya berada di pesawat, semua saya pikirkan adalah, 'Saya ingin kembali ke desa saya."
"Ketika mereka mendarat di Jakarta, anak-anak didorong sekitar tiga
jam ke rumah baru mereka - Jamiyyah Al-Wafa Al-Islamiyah pesantren, tinggi di
lereng gunung berapi, Gunung Salak, di belakang kota regional Bogor. Kepala
yayasan sekolah Al-Wafa, Harun Al Rasyid, mengingat Andreas Asso dan anak-anak
dari Wamena, dan orang-orang yang membawa mereka, Amir Lani dan Aloysius
Kowenip, yang ia tahu sebagai "Aloy". Kedua orang telah datang dan
"menawarkan siswa" pada tahun 2005, kenangnya.
"Aloy ambisius dalam politik, dan membawa anak-anak untuk pesantren saya adalah cara untuk meningkatkan posisinya atau citra di masyarakat," kata Al Rasyid.
Pengakuan andreas Asso dan itu berbeda dalam banyak hal tetapi mereka
setuju pada satu hal : anak-anak dari desa di dataran tinggi Papua liar hanya
tidak cocok masuk "Itu tidak seperti sekolah nyata karena di sekolah
mereka memiliki kelas," Andreas kata.
"Dalam hal ini, kami hanya pergi ke sebuah masjid besar dan semua kita
belajar tentang Islam, hanya membaca Alquran. Kadang-kadang mereka menampar
kami di wajah, memukuli kami dengan tongkat kayu.Mereka memberitahu kita
orang Papua yang hitam, kita memiliki kulit gelap. "
Makanan dan pendidikan di Al-Wafa gratis tetapi agama diajarkan dengan ketat.
Memiliki guru dari Yaman dan pendanaan dari Saudi dan website yang menggambarkan tentang Salafi
sholeh, atau "Salafi saleh".
Tujuannya: "Menyiapkan kader pengkhotbah dan orang-orang yang bisa
memanggil orang lain untuk Islam." Andreas menegaskan bahwa, seperti dia,
beberapa anak-anak lain adalah orang Kristen, dan bahwa kepala sekolah merubah nama mereka untuk membuat mereka terdengar
lebih Islami - tuduhan Al Rasyid membantah.
Sementara itu, Al Rasyid mengatakan orang Papua itu merupakan rakyat jelata nakal yang menyusahkan guru mereka "karena latar belakang budaya mereka berbeda".
Dia mengatakan anak laki-laki kencing dan buang air besar di halaman
sekolah dan mencuri hasil panen petani tetangga. Dia mengakui menghukum mereka
dengan "memarahi" dan memukul mereka "dengan rotan di
kaki". Sekitar dua atau tiga bulan setelah mereka tiba, seorang anak
sakit-sakitan, Nison Asso, meninggal.
"Dia berusia 10 tahun," kata Andreas. "Dia sudah sakit di
Wamena tapi ... dia meninggal. Jasadnya masih ada di Bogor karena pondok
pesantren tidak memiliki uang untuk mengirim jenasah kembali, meskipun orang
tuanya ingin anak mereka dikirim kembali." Al Rasyid tidak akan
mengomentari nasib Nison itu. Setelah kurang dari satu tahun, itu jelas untuk
kedua anak laki-laki dan sekolah bahwa percobaan itu gagal, sehingga Amir Lani
dipanggil.
Andreas mengatakan ia memohon Lani membawanya pulang, namun ditolak.
Sebaliknya, Lani membawa mereka ke Jakarta untuk pria Papua lain, Ismail Asso,
yang dirinya pernah menjadi murid impor yang namanya diubah. Ismail mengatakan kepada
anak-anak tidak ada uang untuk mengembalikan mereka ke Papua. Orang tua mereka,
tampaknya, tidak pernah dikonsultasikan.
Beberapa siswa menemukan pesantren baru di Tangerang, dekat Jakarta.
Kemudian mereka harus diusir dari sana karena, menurut Ismail Asso,
"Anak-anak ini sudah anak yang nakal di Papua." Tapi Andreas tinggal
keluar dari sekolah dan bukannya bekerja sama dengan anak lain, Muslim Lokobal,
"yang juga seorang Kristen tetapi diberi nama 'Muslim'". Pasangan ini
pergi untuk membuat cara mereka sendiri di kota besar.
Lagi tulis weekend, sebuah masalah terus-menerus dalam meneliti cerita ini
telah menjepit turun rincian - nama, waktu dan usia. Nama telah berubah, akar budaya
dihapus, dan anak-anak desa jarang tahu usia mereka sendiri. Yang tragis sebelum
mengakhiri cerita Yope Lokobal menyarankan, bagaimanapun, bahwa ia mungkin anak
yang sama yang Andreas Asso tahu sebagai Lokobal Muslim.
Andreas mengatakan bahwa satu malam Muslim mabuk. Tidak ada saksi mata apa
yang terjadi berikutnya, dan itu adalah subjek dari lima atau lebih berbeda,
account kedua tangan. Andreas adalah yang paling mengerikan.
"Dalam perjalanan kembali ke rumah kos, Muslim membuat masalah dengan
masyarakat setempat, sehingga mereka memukulinya dan membunuhnya. Mereka
menempatkan tubuhnya di dalam asrama. Dan karena mereka membencinya, mereka
mengeluarkan salah satu matanya dan menempatkan botol di rongga mata. "
Apakah adegan ini mengerikan menggambarkan kematian Yope ini? Ataukah Muslim
anak laki-laki yang berbeda?
Kembali di desa Megapura, mereka dapat menumpahkan sedikit cahaya.
"Ada telepon dari Jakarta ke masjid di Megapura, dan orang-orang dari
masjid memberi kami berita," kenang Johanes Lokobal.
"Tidak ada penjelasan tentang bagaimana Yope meninggal." Kata
saudara tiri Elias: "Itu adalah tahun 2009 atau 2010 Kami hanya mengadakan
upacara berkabung di rumah, berdoa..
" Tidak ada yang tahu di mana tubuh Yope dikuburkan.
Sisa anak laki-laki yang diangkut menggunakan pesawat Hercules saat itu
kini tersisa 20-an. Terakhir kali Andreas Asso mendengar dari mereka, mereka
berada di Jakarta sebagai sedikit lebih baik dari pengemis - "pengamen
jalanan atau bekerja di angkutan umum - asisten pembalap, mengumpulkan
penumpang," katanya.
Transportasi Internal anak memiliki sejarah panjang dan terhormat di
Indonesia. Sekitar 4500 anak telah dihapus dari Timor Leste selama 24 tahun
pendudukan Indonesia untuk melayani, dalam kata-kata penulis Helene van Klinken
dalam bukunya Making them Indonesia, sebuah "agama Islam dakwah", dan
untuk mengikat daerah lebih dekat ke Jakarta. Anak-anak, ia menulis, dipilih
karena mereka "mudah dipengaruhi dan mudah dimanipulasi untuk melayani
tujuan-tujuan politik, ras, ideologi dan agama".
Papua telah target di masa lalu, juga. Pada tahun 1969, mantan presiden
Soeharto mengusulkan mentransfer 200.000 anak-anak dari "terbelakang dan
primitif Papua, masih hidup di zaman batu" ke Jawa untuk pendidikan.
Kelompok lain yang didukung Saudi, DDII, digunakan untuk membawa anak-anak dari
Timor Timur dan Papua. Dan hari ini, AFKN, yang terkait dengan premanisme,
garis keras Front Pembela Islam (FPI), secara aktif mencari anak-anak untuk
merekrut.
Atasnama Negara!
Interprestasi penafsiran sila pertama pancasila menuai masalah keagamaan di
kemudian hari. Ketuhanan yang Maha Esa di tafsirkan sebagai negara beragama.
Bahkan dipersepsikan mewujudkan ajaran ajaran tertu dengan cara apapun sesuai
titah ketuhanan. Padahal, ketuhanan yang maha esa lebih pada Tuhan itu maha
kuasa, tak bisa disamakan. Pemikiran tentang Tuhan tak akan sama dengan Tuhan
itu sendiri.
Ahli hukum di Indonesia harus lebih adil dalam menafsirkan sila pancasila
agar tak dikebiri dikemudian hari. Meletakkan dasar filosofi pancasila tak
harus menimbulkan persepsi pengelompokan. Agama dikelompokkan dengan stigma
Tuhan masing masing, padahal sama, satu Tuhan. Mari lihat
lingkungan dan realitas apa yang terjadi, daripada berharap menyamakan dirimu
dengan Tuhan adalah tindakan GILA!.
Akhir dari investigasi weekend menemukan komentar dari mereka yang dianggap
harus bicara masalah begini. Kepala Satuan berbasis di Jakarta pemerintah
Indonesia untuk Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat, Bambang
Darmono, merendahkan sebagai salah satu dari "banyak masalah di
Papua", dan direktur Kementerian Agama tentang pesantren, Saefudin,
katanya belum pernah mendengar tentang hal itu.
Namun upaya saya (investigator) untuk menelusuri kehidupan dan kematian
salah satu anak Papua telah mengungkapkan bahwa perdagangan berlangsung. Dan,
dalam pelayanan tujuan agama dan politik besar, kehidupan terkadang muda yang
rusak.
Daarur Rasul adalah setengah pesantren, setengah bangunan di kota satelit
Jakarta yang disebut Cibinong. Di sini, anak laki-laki 100 dari dataran rendah
dalam setengah kerumunan barat Papua sampai ke bar berat gerbang untuk
menyambut kami. Pintu gerbang terkunci karena menurut salah satu anggota staf,
"mereka ingin melarikan diri".
Empat puluh atau lebih anak perempuan hidup bawah dengan lebih banyak
kebebasan bergerak. Kepala sekolah Ahmad Baihaqi menegaskan ia mengajarkan
Islam moderat, dan anak-anak setidaknya ada tujuh, tetapi beberapa terlihat
lebih muda. Dia tidak menyangkal mereka dikurung, tetapi mengatakan itu hanya
selama jam belajar "untuk menempatkan disiplin pada mereka".
Pada tahun 2011, empat anak laki-laki melakukan pelarian dan diklaim tidak
hanya bahwa mereka telah dipaksa untuk bekerja di lokasi konstruksi, tapi itu
di sekolah, mereka telah meninggalkan lapar, mengingat air mentah untuk minum
dan hanya diajarkan Islam, bahasa Indonesia dan matematika.
Baihaqi menegaskan anak-anak membesar-besarkan, mengatakan mereka telah "nakal" dari sebelum mereka tiba. Dia setuju bahwa kadang-kadang murid-muridnya melakukan pekerjaan di lokasi konstruksi, tetapi mengatakan mereka menikmatinya.
Pelajaran anak laki-laki dimulai pada 4 am dengan doa. Sekolah berlanjut,
dengan istirahat dan tidur siang, sampai 9, di mana ada tujuh jam doa dan
membaca Al-Quran dan hanya 3 1/2 jam untuk "ilmu alam, ilmu sosial,
membaca dan menulis".
Baihaqi mengatakan ia merekrut mahasiswa baru di Papua setiap tahun dan
bersumpah orang tua memberikan persetujuan mereka. Tapi anak-anak hanya
melakukan perjalanan pulang setiap tiga tahun. Mereka jangan lewatkan tua
mereka, katanya, dan orang tua sadar setuju untuk pengaturan.
Arist Merdeka Sirait, kepala perlindungan anak non-pemerintah kelompok
Komnas PA di Indonesia, mengatakan;
memisahkan
anak-anak selama itu "berarti menghapus akar budaya mereka", terutama
jika nama dan agama mereka juga berubah. "Ini sangat berbahaya,"
tambahnya. Tapi Departemen Agama yang kuat di Indonesia tidak memiliki masalah
dengan itu. Ini didorong, pada kenyataannya, kata direktur divisi pesantren Saefudin,
karena, "Semakin lama Anda tinggal [di pesantren], semakin Anda akan
mendapatkan berkah."
Komisi Perlindungan Anak pemerintah Indonesia, KPAI, juga optimis. Wakil
ketua Asrorun Ni'am, yang juga anggota senior Dewan Fatwa MUI, badan penasehat
Islam pemerintah, lebih khawatir tentang "sentimen keagamaan" kita
mungkin membangkitkan dengan menulis cerita.
"Itu melawan semua upaya untuk membangun suasana yang harmonis," ia memperingatkan kita.
Hukum jelas. Konvensi PBB tentang Hak Anak, di mana Indonesia merupakan
salah satu pihak, mengatakan anak-anak tidak boleh dipisahkan dari keluarga
mereka karena alasan apapun, bahkan kemiskinan.
Dan UU Perlindungan Anak Indonesia meliputi hukuman penjara lima tahun bagi
mereka yang mengkonversi anak untuk agama yang berbeda dari keluarga mereka. Di
Papua Barat, tokoh agama memiliki sedikit keraguan bahwa memindahkan anak-anak
merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk membanjiri penduduk pribumi,
"Ini adalah proyek jangka panjang Indonesia untuk membuat Papua tempat Islam," kata kepala gereja Baptis provinsi, Socratez Yoman. "Kalau Jakarta ingin mendidik anak-anak Papua," kata Benny Giay pemimpin Kristen, "mengapa mereka tidak membangun sekolah di Papua?"
Kita tidak bisa memastikan apakah pemerintah Indonesia atau lembaga yang
aktif dalam gerakan anak-anak. Tetapi beberapa organisasi memiliki dukungan
tingkat tinggi. AFKN didanai oleh zakat (sedekah Islam) disampaikan melalui
lengan amal milik negara Bank BRI Indonesia; Aloysius Kowenip berbicara tentang
"pemerintah daerah" pendanaan; donor Daarur Rasul meliputi
"beberapa petugas polisi dan militer" bertindak secara pribadi, dan
setidaknya satu kelompok tergerak oleh sebuah pesawat militer.
Mungkin, seperti gerakan terdokumentasi dengan baik anak-anak di Timor
Timur, operasi Papua tidak memiliki dukungan pemerintah tetapi menikmati
persetujuan aman/legal di tingkat tinggi masyarakat Indonesia.
Andreas Asso selamat untuk menceritakan kisahnya, tapi tetap marah pada
bagaimana ia ditipu meninggalkan rumah dataran tinggi, lalu ditinggalkan
nasibnya.
"Aku bisa memiliki pendidikan ada di Wamena. Beberapa teman saya yang
tinggal telah lulus dari sekolah ... pekerjaan impian saya adalah menjadi
seorang polisi. Tapi aku melihat ke belakang, dan saya telah mencapai
apa-apa.", akhir.
Pasal 25 Piagam Jakarta yang penulis kutip berikut ini semoga bukan maksud
dari misi Papua diatas; Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan
mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka.
Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri,
kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga.
Prilaku kita sudah kebablasan. Selain ribuan muda mudi Papua yang di
islamkan, sebuah penelitian di Mesir mengungkapkan, dari jumlah seluruh anggota
pejuang oposisi yang hendak menumbangkan rezim mubarak saat ini, 60 persen
anggotanya berasal dari muslim Indonesia yang berjihad disana. Laporan tersebut
menghawatirkan adanya balasan serangan dilancarkan Amerika kepada Indonesia
tinggal tunggu saatnya saja.
Kita juga perlu sadari, negara terakhir yang di akui PBB selain palestina
adalah sudan selatan. Hanya karena faktor ribut ribut kepercayaan agama, Sudan
terbelah menjadi dua bagian negara terpisah yang diakui dunia. Bedanya,
Papua menjadi satu pulau dua negara saat ini hanya karena faktor kepentingan
ekonomi dunia. Apa jadinya dengan misi "islamisasi" Papua saat ini? “Pancasila
Rumah Kita” telah pergi dan terkubur bersamaan dengan penyanyinya Franky
Sahilatua...
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.