Dibaca :

Kamis, 23 Februari 2012

65 Tahun NKRI, Freeport Bawa Malapetaka Bagi Rakyat Papua

Arkilaus Baho
Pada 14 Agustus 2010 pukul 15:56

Mari kita akhiri kanalisasi dialog.Mari kita akhiri stigma Refrendum. Mari kita akhiri Stigma banyak uang kasi ke Papua untuk pembangunan. Saatnya kita akhiri stigma OPM " obet punya mainan "di Tanah Papua. Itulah budaya demokrasi yang dianggap positif bagi sebuah Negara hukum untuk menerapkan penyelesaian berbagai permasalahan bangsa. Nah, kenapa saya bilang mari kita akhiri?. Adalahsudah gagal. Kampanye dan seruan tersebut sudah mandul. Bahkan desain penyelesaian tersebut tidak membuahkan hasil progresif.

Gempuran dialog, pemberian uangyang banyak-banyak semuanya berakhir dengan nihil. Ya, 65 tahun kita bergelutatas masalah Papua toh tidak ada kemajuan yang kita dapat. Dialog dan stigmatisasi terhadap fenomena Papua tidak mampu mengatur dan menertibkan junta kapitalisasi Freeport. Hutan luas terkubur dengan lumpuran tambang, akibatnya mata pencaharian penduduk pribumi jadi lumpuh total. Ketergantungan baru terhadap tetesan perusahaan mulai membudaya.

Saya mau kutip pernyataan LIPI Indonesia yang selama ini ngotot berteriak dialog dan terus menulis dan meneliti masalah Papua. Menurut mereka-Indonesia Didesak Adopsi Pendekatan Baru di Papua. Para pakar LIPI mengatakan eksperimen sembilan tahun"otonomi khusus" telah gagal mengakhiri berbagai konflik di Papua. Hadirnya otsus maupun Otonomi daerah tidak jauh dari peran LIPI sendiri yang menyuplai berbagai ide dan pandangan terhadap desentralisasi. Sekarang mereka ini kembali hajar pemerintah dan bilang Otsu itu gagal selesaikan Papua. Lah, kalau otsus gagal, mengapa dari awal tidak menolak otsus?.

Dalam usia yang ke 65 tahun sekarang ini, Papua dijadikan kekuasaan Indonesia sejak tahun 1963. Artinya sudah 47 tahun, Papua didalam kandang ibu pertiwi. Sedangkan Freeport menggenggam Tanah Papua sampai tahun2042 sesuai KK II.

Benturan yang didapat dari pentingnya menyelesaikan masalah Papua adalah selama ini Freeport lolos dari pendekatan Negara atas Masalah Papua. Buktinya, tidak ada refleksi dalam kontrak karya I, dengan sendirinya pemerintah bikin KK II. Kenapa Freeport?. Ya, kita periksa dia dari ketidakbenaranya, elit Jakarta harus dipenjarakan atas perbuatan mereka memasukan perusahaan tanpa persetujuan orang Papua. Budaya saling menghargai harus di luruskan. Orang Papua menghargai anda bila anda menghargai mereka. Penjarakan saja mafia tambang yang mencederai kepentingan dan harga diri orangPapua. Kenapa taku?

Komplikasi imperialisme atas bumi Papua patut di pandang sebagai satu actor penting dalam upaya pengembangan kemajuan wilayah ini. Saya dapat menduga, pemerintahan Indonesia terlalu larut dalam logika eksploitasi yang merupakan budaya logis para investor.

Logika inilah yang menggagalkan nurani bangsa ini untuk meningkatkan kualitas nilai luhur di Papua. Pembangunan jadi macet, sarana prasarana otsus diperuntukan bagi kepentingan penjaminan investasi. Logika pasar bebas ini kemudian dipaksakan berbenturan dengan peradaban demokrasi orang Papua yang tradisionil. Efek negatifnya adalah mendulang uang dari dan atas nama Papua. Atas nama otsus, bantuan Negara-negara maju untuk Papua meningkat di BAPENAS. Atas nama otsus, kapitalisasi Papua kemana saja merupakan hal mutlak.

Disatu sisi, berlakunya otsus, malah kita sering dengar masih ada operasi militer di Papua, masih ada penembakan di areal Freeport, ada saja stigma OPM muncul dimana-mana. Kepentingan kamtibmas ini membuat suprastruktur otsus tersedot kedalam operasi keamanan. APBD otsus yang seharusnya untuk pembangunan Papua malah dipakai bagi kepentingan operasi ketahanan Negara. Padahal, urusan keamanan dan pertahanan Negara bukan kewenangan Pemerintah daerah ( pemda Otsus ) tetapi pemerintahan pusatlah yang berkewajiban mengendalikan langsung kambtibmas di Papua. Jadilah, kue otsus dalam APBD jadi rebutan pemerintahan otsus dan pemerintahan Jakarta.

Bila disimak, gejolak Papua itu menjadi kronis dalam penyelesaianya setelah Freeport mendudukan cakarnya di Bumi Papua. Budaya musyawarah dan mufakat menjadi tidak bernilai di Papua setelah Freeport masuk. Iya. Sebelum perebutan Papua, pendekatan Sukarno dengan Belanda dan Negara-negaralain adalah perundingan dan berunding. Diakhir perundingan tersbut, pecahlahTRIKORA 1 Mei 1963. Datanglah antek kapitalisme di Indonesia, 1965 Sukarno dikudeta, OPM deklarasi di Manokwari. Selang dua tahun, Freeport bikin kontrak kerja operasi penambangan dengan rezim Suharto. Sejak itulah, Selain nama Irian Barat dirubah menjadi Irian Jaya, satu metode pendekatan penyelasaian Papua dengan militeristik membudaya. Suharto menanamkan patriotisme prajurit Indonesia melindungi perusahaan Negara lain yang ada di Indonesia. Sejak itupula, TNI maupun POLRI bermental mengutamakan keamanan investor daripadakeamanan rakyat sendiri.

Daerah operasi militer " DOM " dan stigma Gerakan PengacauKeamanan, Separatisme sampai sekarang terorisme sama saja dengan cara pemerintah member image buruk bagi warganya demi keamanan kepentingan Negara-negara asing dalam Indonesia. Akibatnya, ribuan perusahaan asing pegang kendali atas usaha kekayaan dalam negeri Indonesa. Ratusan perusahaan asing bercokol di Tanah Papua. PendudukPapua semakin berkurang, fasilitas pembangunan, kesehatan tidak memadai. Tetapi jumlah investor ke Papua semakin meningkat tiap tahun.

Sudah begitu, kita masih berkelahi seputar pentinganya SDM, kita masih berkoar-koar tentang sistem birokrasi. Padahal, birokrasi pemodal lebih gampang kenapa birokrasi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat kok malah diperlsulit bahkan di perbanyak. Mulai dari UU Migas, UU Penanaman Modal, UUTata Ruang, UU Konservasi Hutan, UU Air, UU Lingkungan Hidup, sampai padaKEPRES dan PERDA semunya demi sang Investasi. Rakyat di nomor dua dalam rancangan aturan Negara. Anda hendak masuk areal Freeport itu harus butuh 12 syarat ijin. Sekarang juga Freeport mau olah uranium pun tidak masalah karena Kontrak karya ke-II tidak tercantum Uranium. Kalu mau rubah, tunggu KK III tahun 2042. Alasanya, kalau mau rubah atau batalkan Kontrak Karya, awas nanti Amerika marah sekali dan Papua bisa lepas. Ehmm Kita telah menunjukan idealisme kita di mata dunia bahwa Indonesia bukan Negara berkedaulatan karena selalu saja ancaman Amerika ditakuti Indonesia.

Mari buka kran baru untuk penyelesaian Papua. Beri ruang bagi orang Papua, kurangi pengaruh capital violence. Sistem keterwakilan tidak efektif di Papua. Keterwakilan etnis dibutuhkan. Dan cara memulainya diawali dengan melumpuhkan PT. Freeport. Evalusai dan awasi dulu perusahaan ini, baru kita beranjak ke soal Otsus yangsaya yakin terjawab dengan sendirinya. Refrendum pun tidak serta merta suatu momok demokrasi, dalam hal Freeport referendum dibutuhkan dalam penentuan opsi penyelesaian Freeport. Hanya dengan referendum menentukan Freeport, segala suara terwakilkan. Segala kepentingan terwadahi dan itulah demokrasi kualitas yang paling di tunggu orang Papua.
  
Selamat menjalankan Ibadah Puasa, Selamat atas Hut NKRI yangke-65. MERDEKA!
@Westapua-arki

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.